SABAN Sabtu, di akhir pekan, ia pulang kampung. Menanggalkan tumpukan aturan-aturan yang harus dikaji, meninggalkan meja kerja dan dokumen.
—
PULANG berarti berkendara sekira 50 kilometer, menuju Desa Taugi, Kecamatan Masama. Setahun terakhir, Is—sapaan akrabnya—mengurus ternak. Spesifiknya, usaha penggemukan sapi.
Usaha sampingan ini, bagi Wakil Rektor I Bidang Akademik Universitas Tompotika Luwuk, Dr. Isnanto Bidja, SH, MH sarat romantisme masa kecil. Selain mengingatkannya pada orang tua, bisnis usaha penggemukan sapi ini, memberi hasil yang lumayan besar.
Isnanto, menceritakan, saat mengawali usahanya itu, ia membeli 5 ekor sapi dengan harga Rp 4 sampai Rp 5 juta per ekornya. Dalam setahun, sapi–sapi itu digemukkan lalu dijual seharga Rp 13-14 juta. Keuntungannya lumayan. Apalagi, jika sapi yang digemukkan lumayan banyak.
Untuk memenuhi pakan ternak, ia menanam rumput gajah di lahan seluas setengah hektar. Rumput setinggi satu-dua meter—yang ditanam di musim hujan—itu, memang cocok untuk pakan ternak seperti sapi.
Sisa pakan lainnya, diambil dari lereng pegunungan di wilayah Masama, wilayah kecamatan di kaki Gunung Tompotika yang juga dikenal sebagai lumbung beras Kabupaten Banggai ini.
Jarak dari kandang ternaknya di Desa Taugi, ke tempat pengambilan pakan di kaki gunung Tompotika tidak terlampau jauh. Hanya sekira 7 km.
“Rumput gajah di lahan seluas 1 hektare itu, cukup untuk 5 ekor sapi. Tetapi, karena lahannya hanya setengah hektare, kekurangan pakan saya ambil di lereng pegunungan dan diangkut dengan traktor,” tuturnya.
Ia sengaja memilih usaha penggemukan sapi jantan agar dalam waktu setahun atau dua tahun bisa dijual. Berbeda dengan sapi betina yang jika melahirkan membutuhkan waktu tiga hingga empat tahun untuk membesarkan anak–anaknya.
“Sapi jantan, setahun sudah bisa dijual. Di momen Iduladha, harganya lumayan bagus,” tuturnya.
Apalagi, jika sapi itu diperjualbelikan antarpulau, misalnya ke wilayah Kalimantan Timur, sisi ekonomisnya lebih tinggi.
“Harganya bisa lebih besar,” tuturnya.
Saat memulai, akademisi berlatarbelakang ilmu hukum ini memelihara 5 ekor sapi, lalu menjual 4 ekor. “Modalnya hanya 18-20 juta. Saya jual dengan kisaran harga 12-13 juta per ekor,” katanya.
Selain menengok ternak, libur di akhir pekan itu juga digunakannya untuk merawat kebun buah-buahan. Di lahannya yang besarnya sekira 1 hektare dekat rumahnya, selain pakan hijauan, juga ada bermacam buah ditanam. Lengkeng, mangga, rambutan, alpukat, lemon hingga nangka. “Lengkap di halaman rumah,” katanya, sambil tertawa.
Di masa pandemi, tak sedikit orang kota kembali ke desa. Dari birokrat sampai teknokrat, “pulangnya” ke desa. Mereka membuka kebun atau memelihara ternak. Tak heran jika di pinggiran jalan menuju wilayah kecamatan, ada saja mobil-mobil lumayan mewah yang terparkir di lahan perkebunan.
Tetapi ada pula yang melakukannya karena romantisme masa kecil, seperti Isnanto Bidja. Ia lahir di desa, dan semasa kecil sudah akrab bermain di kebun. “Saya lahir di kebun. Kultur saya di situ. Beternak menjadi hobi,” pungkasnya. (ris)