Akhirnya Snorkeling di Paisu Pok
“Saya puas kayak gini, berenang-renang,” kata Mulyadi T Bua.
Lagi-lagi, celotehnya itu mengundang tawa teman-teman seperjalanan. Maklum saja, yang ia maksud puas berenang itu adalah (hanya) menceburkan diri ke air dengan kedalaman satu-dua meter, sambil bertelanjang dada lengkap dengan life jacket-pengapung.
Praktisnya, ia hanya berenang di tepian Danau Paisu Pok.
Pengakuan Pak Sek—panggilan akrab Mulyadi T Bua—yang sejak awal mengaku tidak tahu berenang itu memang sulit dipercaya. Maklum, lelaki berpostur tinggi besar dengan tato nyaris menutup separuh otot biseps dan triseps-nya itu, adalah jurnalis yang besar di Peling, Banggai Kepulauan.
Pulau nan cantik yang dahulu dikenal dengan mutiara-mutiaranya.
Tapi, seperti Pak Sek yang tak tahan godaan untuk menceburkan diri, Paisu Pok memang magis. Tak lengkap datang ke danau ini, jika hanya menikmatinya dari perahu-perahu kecil yang disewakan para pemuda di desa itu.
Meski bernama air hitam, air Danau Paisu Pok sangat jernih. “Suhu airnya seperti berubah. Di sini terasa dingin, di sebelah sana terasa hangat,” kata Pak Is-sapaan akrab Iskandar Djiada-,Pemimpin Perusahaan Koran Banggai Raya.
“Kapan lagi berenang di Paisu Pok,” tambahnya.
Saya pun terprovokasi. Mengunci layar handphone, lalu segera berganti kaus, dan menceburkan diri ke dalam air.
Saat pertama kali datang ke Paisu Pok pada Juni tahun lalu, saya tak sempat lama berenang. Saya mampir menjelang sore, sepulang dari pantai Poganda. Satu jam sebelum magrib.
Namun, kali ini, dengan scuba diving mask yang telah disiapkan, saya bisa lebih menikmati danau itu.
Leluasa berenang, menyelam, melihat penampakan pohon-pohon tumbang beserta dahan-dahannya di dasar danau, maupun ikan-ikan yang bergerombol dekat karang-karang.
Lengkap sudah keindahan pemandangan bawah airnya.
Danau Paisu Pok sejatinya berbeda warna, bening, hijau dan kebiruan. Jernih memantulkan apa saja yang berada di pinggiran danau.
Tetapi, hujan akhirnya turun. Semula hanya rintik lalu menderas. Saya pun berenang menuju tepian. Berteduh di gazebo.
Dengan tubuh menggigil.
Kedinginan.
—
Dua jam di Paisu Pok, kami balik ke Harvest Star. Di sana, warga setempat telah menyiapkan makanan.
Nasi putih, ubi Banggai, cakalang bakar, sayur (tumis) bunga pepaya, dan dabu-dabu disajikan oleh ibu-ibu yang mengenakan masker.
Sepiring nasi penuh lauk dan sayur itu, dilahap dengan nikmat saat tubuh masih menggigil.
Tak jauh dari dermaga, terdapat objek wisata lainnya. Paisu Batango, namanya.
Mata air yang memancar, dari antara akar-akar pohon dan batu karang.
Airnya luar biasa bening.
Lokasi ini seakan tak pernah sepi. Menjadi tempat pemandian warga sekitar. Teman-teman yang datang ke lokasi itu menemukan anak-anak bermain dan berenang di dalamnya.
Mba Ody, salah seorang teman seperjalanan bercerita, Paisu Pok seperti Labuan Cermin di Talisayan, Berau, Kalimantan Timur.
Tetapi ia lebih tertarik dengan Paisu Batango.
Ia memuji kejernihan airnya. Dan sekali lagi, seperti halnya saat mendatangi Paisu Pok, di Paisu Batango itu, ia kembali melompat ke dalam air. “Ya Allah jernih banget. Keren,” tuturnya dalam perjalanan pulang menuju Luwuk. (Haris Ladici)