Oleh : Ama Achmad
(Penulis dan Pegiat Literasi)

“KADANG, saya pikir lama-lama kita ini distopia sebenarnya, tinggal di negeri antah berantah.” Begitu kalimat seorang kakak, di percakapan perpesanan instan di grup kami. Itu setelah seorang kawan memposting satu berita dari sebuah media online, tentang Lomba Cipta Lagu Corona, Tumbuhkan Optimisme. Ya, Anda tidak salah, benar ini lomba cipta lagu di tengah pandemi, di tengah keputusasaan dan kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Seolah lelucon lomba lagu ini datang untuk melengkapi lelucon lain yang sebelumnya hadir dan menjadi humor gelap di tengah penanganan pandemi.
Barangkali benar kita berada dalam sebuah distopia, di sebuah negara yang namanya Wkwkwland. Sebuah negara yang mengajak, sekaligus memaksa rakyatnya tertawa, dan dengan lihainya membenamkan dalam keadaan buruk dan tidak menyenangkan.
Humor pertama lahir dari Menteri Kesehatan sendiri, yang mengatakan bahwa virus ini tidak bisa masuk negeri, bahwa penyakit baru ini bisa sembuh dengan sendirinya, juga sejumlah pernyataan lain yang tidak mencerminkan latar belakangnya sebagai seorang dokter cum menteri kesehatan. Lalu berturut-turut humor lain lahir dari para pejabat publik, bahkan di tengah kepanikan tentang ketersediaan tempat tidur ruang ICU dan kepanikan terhadap kelelahan tenaga medis. “Kita masih punya 3500 dokter cadangan,” itu humor terbaru dari menteri kesehatan, yang diucapkannya ketika orang-orang panik dan berduka, terhadap 112 dokter yang telah meninggal karena virus ini. Kalung minyak kayu putih, minum jamu, tak terbatasnya jumlah tempat tidur di ICU, dan humor lainnya, yang alih-alih membuat kita tertawa tetapi malah ingin menangis saking putus asa.
Dalam sebuah panggung humor dan standup comedy, dark jokes atau humor gelap adalah hal yang biasa ditampilkan. Humor ini lahir sebagai bentuk kritik sosial. Para komedian dan komika menjadikan keresahan sosial yang ramai di masyarakat, sebagai bahan tertawaan. Komika—sebutan untuk standup comedy—malah lebih keras terhadap kritik sosial. Kita mengenal Sakdiyah Ma’ruf, komika perempuan keturunan Arab. Ia menyandang gelar–semacam sebuah awal untuk semua—komika perempuan pertama, komika berhijab pertama, dan yang seperti itu. Ia pertama kali tampil di kampus, membawa keresahannya sebagai perempuan tentang hijab, ekstremisme, dan isu-isu kekerasan perempuan. Sakdiyah mengajak penontonnya—terutama perempuan—untuk menertawakan semua masalah sekaligus melawan.
Begitulah kemudian humor atau komedi gelap menjadi semacam cara menertawakan keadaan sendiri, juga cara lain untuk melawan. Komedi jugalah yang “menyelamatkan” Dean Obeidallah, yang memutuskan “menertawakan” stigma negatif terhadap muslim AS selepas tragedi 11 September 2001. Dean bertahan dengan menertawakan diri sendiri, semacam sebuah cara mengatasi kesedihan. Alih-alih menangis, marah, sedih, ia memproduksi lelucon miris yang mengundang tawa banyak orang.
Apakah dengan menertawakan kondisi tertentu kita akan serta-merta bahagia? Tentu saja tidak semudah itu. Sakdiyah dan Dean memberi kita petunjuk untuk memilih, menertawakan dan melawan atau marah dan memberontak atau sedih dan putus asa. Protes-protes kecil pun menjadi menakutkan di negeri Wkwkwland. Di tengah carut-marut penanganan pandemi, kita tidak hanya nelangsa karena penanganan yang jauh panggang dari api, tetapi juga dengan sendirinya pemerintah membuka mata kita tentang ragam kekurangan di negeri, salah satunya di bidang kesehatan.
Kita mungkin bisa memakai teknik Sakdiyah dan Dean, menertawakan kondisi negeri dan berpura-pura tabah menjalani hidup di Wkwkwland, terutama jika mengingat salah satu slogan andalan pemerintahnya adalah “bahagia meningkatkan imun tubuh”. Menertawakan segala keburukan dengan komedi, tetapi pelan-pelan memasuki pikiran orang dengan sebuah protes dan mungkin ajakan untuk melawan.
Di media sosial, humor semacam ini muncul dalam bentuk twit atau cuitan, status media sosial, dan sebagainya. Lahir dalam bentuk meme, kalimat lucu, dan semacamnya. Saya sampai pada pemikiran, bahwa saat ini kita memang hanya bisa mengoptimalkan satu anugerah dari Tuhan, yaitu kemampuan untuk tertawa. Meski setelah itu tidak ada apa-apa yang terjadi, tidak ada perubahan yang signifikan dari upaya penanganan pandemi.
Tidak ada tempat mengeluh, di negeri Wkwkaland, setiap orang diminta untuk menjaga diri sendiri dan menelan air matanya. Dari sebuah artikel yang saya baca, penggunaan dana penanggulangan pandemi per Agustus adalah 21,75 persen dari total alokasi dana sebesar Rp 695,2 triliun. Sudah hampir 8 bulan, dan kurva tak juga melandai, meski anggaran cukup besar. Kalau hidup dalam sebuah cerita novel, semua tokohnya masih dibolehkan menanam harap, tebal atau tipis tergantung keyakinan diri, tetapi sayangnya kita hidup dalam sebuah kenyataan.
Hidup barangkali hanya tinggal menunggu lelucon, setelah Lomba Cipta Lagu Corona yang diinisiasi oleh seorang jenderal, dan hadiahnya juga diserahkan oleh beberapa jenderal, kita diminta tidak terkejut dengan humor lain di negeri Wkwkwland. Cukup menunggu lelucon, tertawa dan menangis bersama.
Jika kiat-kiat hidup sehat di tengah pandemi, juga cara-cara mengisi waktu di masa suram ini mudah ditemukan di artikel atau di mana pun, maka sebaliknya tidak ada siasat untuk melalui semua ini di negeri Wkwkwland. Saya hanya bisa bersandar pada humor, menertawai diri dan kondisi, menghela napas panjang, dan sesekali mengambil tisu menyeka air mata. Bagaimana denganmu? (*)