Inisiatif Merdeka
Oleh: Dahlan Iskan
INI tidak mungkin terjadi di Indonesia: dua wanita membeli tanah 40 hektare untuk dibuat perumahan tertentu.
Kelak, administrasi perumahan itu tidak akan di bawah desa terdekat. Juga tidak mau di bawah kabupaten atau kota setempat. Pun tidak mau di bawah negara bagian mana pun.
Dua wanita itu akan membuat wilayah administrasi pemerintahan sendiri. Yang luasnya 40 hektare itu.
Di Amerika status administrasi pemerintahan seperti ini dimungkinkan.
Disebut: Unincorporated Community. Yakni sebuah komunitas yang tidak terikat dengan pemerintahan daerah mana pun.
Itulah inti paling dalam prinsip demokrasi di Amerika: berhak menentukan nasib sendiri. Empat bulan lalu yang seperti ini dicoba dibuat di tengah kota Seattle, kota terbesar di negara bagian Washington. Wilayahnya seluas 6 blok, di tengah kota. Enam blok itu memisahkan diri dari administrasi pemerintahan kota.
Warga enam blok itu merasa mampu mengurus diri sendiri. Mereka tidak mau “diurus” oleh pemerintah kota. Yang menurut mereka terbukti hanya menganggu saja.
Deklarasi ‘kemerdekaan’ enam blok itu sudah dilakukan. Tidak ada yang marah. Wali kota Seattle pun tenang-tenang saja. Ia tidak peduli wilayahnya berkurang. Ia tahu wilayah itu bukan miliknya, untuk apa diributkan atau dipertahankan.
Dan yang seperti itu memang dibolehkan. Ada ratusan Unincorporated Community di Amerika. Tidak pernah ada yang mempersoalkan. Biasa saja.
Tapi rasanya pemisahan 6 blok di tengah kota Seattle itu belakangan tidak terdengar lagi. Kelihatannya tidak jadi.
Yang serius justru dua wanita tadi: Ashley Scott dan Renee Walters. Dua-duanya pengusaha. Scott pengusaha real estate. Walters pengusaha bidang investasi.
Dua-duanya wanita kulit hitam.
Cita-cita mereka sama: membuat Unincorporated Community khusus untuk warga kulit hitam. Yakni di tanah seluas 40 hektare itu. Jauh lebih besar dari wilayah 6 blok di tengah kota Seattle itu. Yang hanya kurang dari 5 hektare.
Tanah 40 hektare itu memang tanah kosong. Letaknya agak jauh dari mana-mana. Tapi masih di negara bagian Georgia. Kira-kira 150 Km dari kota terbesar di Georgia, Atlanta. Atau sekitar 100 Km dari “ibu kota golf dunia” Agusta. Lokasi itu tepatnya di antara dua kota itu tapi agak ke arah selatan.
Kira-kira saya tahu wilayah ini. Saya pernah menjelajah kawasan itu. Termasuk pernah mengemudi sendiri dari Atlanta ke Agusta –melihat lapangan golf yang selalu dipuja teman saya Robert Lai itu.
Lebih tepatnya lagi tanah 40 hektare itu ada di satu kawasan tidak bernama. Dekat dengan Toomsboro.
Nantinya “kota 40 hektare” itu disebut: Freedom Georgia Initiative.
Kini lahan itu sudah mulai dibuldozer. Sudah pula dipasarkan.
Desain dan penataan kawasan ini mendapat inspirasi dari pedesaan Wakanda, di film Black Panther. Yang bintang utamanya baru saja meninggal itu.
Tapi misi ideologisnya bukan dari film yang fiksi itu. Inspirasinya dari film yang nyata-nyata terjadi di dunia. Bahkan terjadi di Georgia: terbunuhnya Ahmaud Arbery. Yakni pemuda kulit hitam, 25 tahun, yang suka olahraga jogging.
Malam itu Arbery lagi jogging di kawasan yang tenang dan indah. Di musim panas seperti itu –apalagi di wilayah selatan seperti Georgia– tempat tadi terasa sangat nyaman.
Arbery mati ditembak di tempat jogging itu.
Nasib. Yakni nasibnya yang berkulit hitam. Hanya karena ia kulit hitam –maksudnya ialah yang pantas dicurigai sebagai pencuri yang lagi dikejar– maka ia yang ditembak.
Ia sendiri memang lagi lari –jogging beneran.
Peristiwa itu menimbulkan kemarahan yang meluas. Itulah sebabnya ketika terjadi lagi kasus matinya George Floyd tiga bulan kemudian kemarahan meledak hebat sekali. Floyd adalah orang kulit hitam yang ditelikung polisi kulit putih di Minneapolis.
Kelihatannya dua kejadian itu selisih hampir tiga bulan. Tapi kemarahan akibat tragedi yang menimpa Arbery masih terus panas sampai Floyd meninggal dunia.
Itu karena tiga orang kulit putih yang menembak Arbery tidak segera ditangkap. Bahkan sampai dua bulan kemudian.
Nanti saya jelaskan mengapa mereka tidak segera ditangkap. Padahal nama, alamat dan orangnya jelas ada di lokasi itu.
“Hanya karena kulit hitam ia harus dipaksa mati.”
“Dan pembunuhnya aman-aman saja.”
Itulah isu yang terus meluas. Sampai menjelang dua minggu sebelum kejadian yang menimpa Floyd.
Maka pada dasarnya penembakan Arbery dan matinya Floyd terasa seperti beruntun. “Hanya karena hitam maka harus mati.”
Diskriminasi seperti itu sudah berlangsung ratusan tahun. Secara struktural pula.
Lebih dari itu. Lokasi ditembaknya Arbery adalah kawasan yang hanya dihuni oleh orang kulit putih –White only. Kawasan itu tergolong Unincorporated Community. Namanya Satilla Shores; Unincorporated Glynn.
Tidak segera ditangkapnya tiga penembak itu kelihatannya ada kaitan dengan status lokasi yang unincorporated itu.
Tidak ada aparat hukum di situ. Mereka tidak punya polisi apalagi jaksa.
Sebagai warga unincorporated mungkin mereka beranggapan: tidak ada orang lain yang masuk ke kawasan itu. Pun mungkin mereka merasa berhak menembak siapa saja yang memasuki kawasan tersebut.
Memang, kawasan unincorporated umumnya adalah dihuni kulit putih. Saya belum pernah mendengar ada kawasan unincorporated yang penghuninya orang kulit hitam. Atau campuran.
Orang kulit putihlah yang punya budaya “hak atas properti adalah hak yang tertinggi”. Tidak boleh diganggu siapa pun –termasuk pemerintah.
Dalam prinsip itu siapa pun yang memasuki properti pribadi boleh ditembak.
Itulah yang menginspirasi dua wanita yang membeli tanah 40 hektare tadi. Keduanya akan membangun wilayah unincorporated sendiri. Mungkin untuk yang pertama di Amerika: penghuninya hanya akan orang hitam.
Di situlah orang-orang hitam akan bisa merasa merdeka semerdeka-merdekanya.
Harapan saya: tidak perlu sampai menembak kalau ada orang kulit putih yang tidak sengaja lewat di sana.(*)