
Webinar SKK Migas–Jurnalis Kalsul menghadirkan Ketua Komisi I DPR–RI, Meutya Hafid, sebagai narasumber.

LUWUK, LUWUK POST—Ketua Komisi I DPR–RI, Meutya Hafid, mengakui, pandemi Covid-19 merupakan masa sulit untuk seluruh masyarakat.
Tekanannya sangat besar. Tetapi, ada beberapa profesi yang tidak bisa terhenti, salah satunya jurnalisme. Selain dokter dan paramedis yang perlu diapresiasi, profesi di garis depan yang tak bisa dilupakan adalah wartawan.
Menurut Meutya, satu cara efektif untuk melawan pandemi adalah menyampaikan informasi yang benar, yang harus sampai kepada masyarakat. Sehingga jurnalisme merupakan salah satu profesi yang patut dihargai dan mendapatkan perhatian khusus. Sebab informasi yang mereka berikan, dibutuhkan oleh satu negara dalam bertahan melawan pandemi.
Dalam webinar bertemakan Jurnalis Bertahan di Tengah Pandemi itu, Meutya mengulas kembali produk undang undang terkait Pers, yakni Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.
Ia, menerangkan, bahwa jurnalis baik cetak maupun digital, merupakan garda terdepan dalam memberikan informasi coronavirus atau Covid-19. Kerja jurnalistik memastikan informasi akurat, memeriksa fakta simpang siur, hingga memastikan akuntabilitas, dan transparansi anggaran pemerintah.
Akan tetapi Koordinator Asia Tenggara Internasional Federation of Journalists (IFJ) mengatakan, peran penting tersebut di tengah pandemi Covid-19 tidak sejalan dengan perlindungan dan kesejahteraan jurnalis.
Berdasarkan, survei IFJ terhadap 1300 jurnalis di 77 negara, sebanyak 866 jurnalis lepas tetap mengalami pemotongan gaji, kehilangan pekerjaan, dan penundaan gaji selama pandemi Covid-19. “Memang jurnalis terkena dampaknya,” ungkapnya.
Bahkan pada level global, ¼ jurnalis merasakan tidak aman saat meliput, karena tak dibekali alat pelindung diri (APD) yang memadai. Misalnya, hand sanitizer maupun masker. “Pentingnya keberadaan jurnalis tidak sebanding dengan perlindungan yang diberikan kepada mereka. Terutama, keamanan saat bekerja, karena hampir semua jurnalis kehilangan pendapatan dan pekerjaan,” tuturnya.
Sementara di satu sisi, di tengah pandemi, jurnalis menghadapi tantangan. Mulai dari tertular Covid-19, pemutusan hubungan kerja, pemotongan gaji, dan terdampak krisis jurnalisme global. Tidak saja di Amerika Serikat tetapi juga di negara negara lainnya. “Misalnya dalam sebuah video yang beredar, Trump menegur wartawan yang bertanya tentang Covid. Ini memang menjadi tantangan saat meliput di tengah Covid. Termasuk di beberapa negara seperti AS, bahkan keengganan mengungkap informasi ditunjukkan di forum konfrensi pers,” ungkapnya.
Mengutip hasil survei Unpad, Meutya, menyebutkan, 45,92 persen wartawan menderita gejala depresi di tengah pandemi Covid-19. Hal tersebut tercermin dari hasil survei terhadap persepsi diri wartawan saat pandemi Covid-19 yang dilakukan Center for Economic Development Study (CEDS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjajaran.
Berdasarkan hasil survei tersebut, terungkap bahwa sejumlah 45,92 persen wartawan mengalami depresi. Selain itu, 57,14 persen wartawan mengalami kejenuhan umum. “Ini angka memprihatinkan,” ujarnya.
Terkait kompetensi dan kualitas SDM wartawan, menurut dia, perlu dilakukan perbaikan terus-menerus. Di mana, masih banyak wartawan yang belum memahami aspek dasar utama yang harus dipahami dan dikuasainya.
Aspek dasar utama itu, antara lain, kesadaran wartawan akan etika dan hukum, kepekaan jurnalistik dan pentingnya jejaring dan lobi. Ditambah dengan aspek pengetahuan, yang mencakup pengetahuan umum, pengetahuan khusus, secara teori dan prinsip jurnalistik. Juga, masih banyak wartawan yang belum memiliki sertifikat kompetensi wartawan.
Data menunjukkan bahwa lebih dari 100 ribu wartawan di seluruh Indonesia, 70 ribu diantaranya belum bisa dikatakan profesional. “Kita tidak bisa salahkan wartawan. Karena pendidikan jurnalistik (memang) belum masif,” tuturnya.
Data Dewan Pers pada tahun 2018, mencatat 8300 wartawan telah tersertifikasi dengan kategori wartawan muda, madya dan wartawan utama.
Dari sisi kesejahteraan wartawan, upah yang diterima wartawan, baik yang ada di pusat (DKI) maupun daerah masih belum layak. Masih di bawah UMP dan masih ada hak-hak jurnalistik yang terabaikan. Antara lain (mengacu pada survei AJI Tahun 2020 di DKI Jakarta) tidak adanya cuti haid, ruang laktasi, tidak ada uang lembur, kerja lebih dari 8 jam per hari, tidak ada libur pengganti dan trauma healing.
Selain masalah gaji, status dan fasilitas kesehatan seperti BPJS kesehatan maupun ketenagakerjaan belum terakomodir dengan baik.
Ia juga memaparkan dukungan Komisi I DPR RI. Pihaknya, dengan Dewan Pers berusaha melakukan perbaikan kondisi pers.
Pertama, mendorong Dewan Pers mengusulkan substansi terhadap perubahan undang-undang, yang memberikan kepastian dan jaminan akan eksistensi pers dalam perkembangan digital.
Kedua, mendorong Dewan Pers memberikan masukan substansi atas RUU yang dapat menghambat kebebasan pers, perlindungan profesi wartawan, serta kepemilikan media.
Ketiga, mendorong Dewan Pers untuk melakukan inisiasi dalam percepatan peningkatan standar kompetensi wartawan, melalui berbagai program dan kerja sama dengan berbagai pihak.
Keempat, mendorong Dewan Pers melakukan koordinasi dengan Kementerian Pendidikan agar mendesain kurikulum khusus untuk jurnalistik, yang menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi jurnalisme yang berkualitas, dengan adanya link and match antara PT dengan dunia pers.
Kelima, mendorong Dewan Pers untuk gigih mengadvokasi kesejahteraan para wartawan dengan perusahaan/lembaga dan advokasi perlindungan keselamatan wartawan melalui kebijakan nyata.
Keenam, membangun kultur dan ekosistem yang menghasilkan profesionalisme wartawan, melalui inisiatif yang inovatif dan kreatif.
Ketujuh, mendukung langkah Dewan Pers untuk mengoptimalkan imbauan kepada media massa agar tetap memerhatikan kode etik jurnalistik dalam kerja-kerja jurnalistiknya.
Dan kedelapan, mendorong Dewan Pers dengan konstituennya agar secara aktif dan berkelanjutan melindungi tugas jurnalis dalam rangka menjaga keamanan kerja saat peliputan, demi keberlangsungan eksistensi perusahaan pers.
Meutya, menerangkan, pemerintah maupun DPR RI, sesungguhnya ingin banyak membantu pers. Salah satunya membuat kebijakan-kebijakan bantuan langsung untuk para wartawan. Termasuk insentif terhadap industri pers dalam hal keringanan pajak dan lain-lain.
Namun, saat itu masukannya beragam. Dewan Pers, masukannya tidak sama. AJI punya suara berbeda. Terkait perlu atau tidaknya bantuan langsung untuk wartawan. “Ada yang mengatakan, tidak perlu. Yang dibantu perusahaannya saja. Dengan membantu perusahaan, wartawannya juga ikut terbantu. Itu disampaikan dalam rangka menjaga independensi para wartawan. Jadi pemerintah sempat gamang, apakah akan memberikan bantuan langsung tunai atau tidak. Dan akhirnya diputuskan tidak, karena waktu itu ada pro dan kontra,” tuturnya.
Hanya saja, kata Meutya, seingat dia ada pengecualian untuk insentif kebijakan perpajakan, yang diberikan kepada media-media yang patuh terhadap pajak sebelumnya. “Jadi media yang patuh melaporkan pajak di tahun sebelumnya, diberikan keringanan pajak di masa pandemi ini,” tuturnya, dalam Webinar I SKK Migas –KKS Kalsul yang digelar Kamis (10/9).
Webinar ini diikuti seratusan wartawan dari berbagai media di Kalimantan dan Sulawesi.
Selain menghadirkan Meutya Hafid, Ketua Komisi I DPR RI, webinar yang dimoderatori Woro Windrati, News Anchor Kompas TV, juga menghadirkan menghadirkan Suryopratomo, wartawan senior, dan Amanda Komaling Ketua IJTI Sulut. (ris)