Perusahaan Nikel Diduga Serobot Lahan Warga
LUWUK, LUWUK POST— Ulah PT Prima Dharma Karsa di Desa Siuna, Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai membuat geram masyarakat. Betapa tidak, lahan produktif masyarakat diduga diserobot perusahaan untuk membuat jalan koridor.
Seorang warga Siuna, Renita Gani Botot (32) mengaku, ia bersama puluhan warga lainnya sudah menuntut ganti rugi lahan atau royalti ke perusahaan. Namun tidak pernah digubris, bahkan terkesan cuek.
“Ada sekitar 10 orang. Lahannya saya juga dilewati untuk bangun jalan,” ungkap Renita kepada Harian Luwuk Post, Senin (28/9).
Sejak dibangun di awal 2020 hingga sekarang dan sudah difungsikan, pihak PT Prima Dharma Karsa tidak pernah bertemu dengan warga untuk sosialisasi. “Hanya dengan pemerintah desa saja. Masyarakat tidak ada,” beber dia.
Selain jalan, lahan warga juga sudah dikeruk untuk pengambilan sampel nikel. Dikeruk tahun ini.
Kata Renita, pernah ada sejumlah warga menuntut hak royalti ke perusahaan melalui pemerintah desa. “Tapi jawabannya ada surat izin. Katanya izin perusahaan sudah lengkap. Bahkan, mereka katakan lahan warga itu hutan Negara,” paparnya.
Renita keberatan dengan jawaban pemerintah desa itu. Menurut dia, lahan itu ada dan punya hak milik jauh sebelum perusahaan punya niat untuk mengeksplorasi nikel di Siuna.
“Nanti kenapa sekarang ada perusahaan baru dibilang hutan Negara. Kalau memang hutan Negara, lalu kenapa yang lain dibayar royalti, kami tidak. Padahal di area yang sama. Ini nyata-nyata perampasan tanah warga,” tandas Renita.
Meski tuntutan mereka tidak digubris pemerintah desa dan perusahaan, mereka akan tetap berjuang. Karena lahan itu adalah hak masyarakat.
PT Prima Dharma Karsa Klaim Kantongi IPPKH
Sementara itu, Humas Eksternal PT Prima Dharma Karsa membantah tuduhan perusahaan menyorobot lahan warga tersebut. Dia menyatakan, ada dua jenis lahan yang dilewati jalan koridor perusahaan. Yaitu area penggunaan lain atau APL dan hutan produksi terbatas atau HPT.
“Nah, lahan warga yang dikomplain itu masuk dalam kawasan HPT,” kata dia, kemarin sore.
Dia menjelaskan, perusahaan hanya membebaskan atau mengganti rugi lahan yang berstatus APL seluas satu hektare. Sedangkan HPT menurut dia, tidak bisa dibebaskan karena melanggar aturan. Sebab, lahan berstatus HPT itu tidak boleh ada transaksi jual beli.
“Soal lahan HPT itu, perusahaan sudah mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan atau IPPKH,” jelasnya.
Meski tidak bisa dibebaskan, kata dia, pihak perusahaan akan mengganti rugi lahan itu tetapi tidak seperti lahan yang berstatus APL. “Hanya dalam bentuk tanda terima kasih saja,” bebernya sembari menyatakan, perusahaan kini sudah beroperasi. (awi)