Oleh : Ama Achmad
Penulis dan pegiat literasi

DUA tahun berlalu, peristiwa gempa, tsunami, dan likuefaksi Palu-Donggala-Sigi, menyisa duka yang tebal. Seorang kakak, menghimpun banyak penyair untuk mengabadikan duka itu dalam puisi. Bukan perayaan kehilangan, tetapi sebagai monumen pengingat. Puisi-puisi itu ditulis dalam sesak kesedihan, dari Adimas Immanuel, Faisal Oddang, Irwan Bajang, Hudan Nur, Gunawan Maryanto, sampai Theoresia Rumthe, duka mengalir di seluruh penjuru.
(Ketika sebuah tragedi, masuk ke ruang tamu kami melalui gawai dan televisi, haha hihi perlahan surut seolah tak tahu kapan pasang lagi. Palu: Kota Puisi, Adimas Immanuel, hal.3.)
Seperti kata Adimas, tragedi itu tiba di layar gawai. Tawa memang surut untuk waktu yang cukup lama. Cukup lama untuk tidak menyinggahi pintu rumah. Cukup lama untuk merasa bersalah setiap kali tertawa cukup keras atau bersenang-senang.
(Doa-doa mengapai-gapai padamu. Tangan iba berulur-ulur padamu. Hentak kaki berduyun-duyun padamu. Padamu kami semua turut mengiba. Pilu Palu Doa Kami, Aleks Giyai, hal. 5.)
Aleks Giyai menggambarkan apa yang terjadi setelah kabar itu sampai di telinga. Saya mendengar doa-doa memanjang, air mata menganaksungai, dan orang-orang bergerak. Bergerak sebenar-benarnya bergerak. Tidak cukup hanya doa, orang-orang bergerak untuk Palu, Sigi dan Donggala. Ada semacam bisik yang menghentak telinga dan dada, memandu seluruh indra untuk bergerak.
(Kematian tiba tergesa-gesa seperti kedatangan ombak yang tidak memberi tanda. Ama Achmad, Kabar Duka, hal. 8.)
Begitulah kemudian, korban jiwa terdata, semakin lama jumlahnya semakin besar. Di antara angka-angka, saya menemukan banyak sekali nama yang tak asing. Gempa, tsunami dan likuefaksi adalah gejala alam. Tak ada yang mampu memprediksi. Manusia hanya bisa meminimalkan kerusakan. Di antaranya kesigapan mitigasi bencana yang baik.
(Ada sungai dalam diriku, tempat aku selalu membayangkanmu, datang bertudung sinar sore warna gading, melepas kain dan berenang telanjang. Sungai Dalam Diriku, Aslan Abidin, hal. 15.)
Ada kesedihan yang muaranya di mata dan dada, ketika menyaksikan Palu, Sigi dan Donggala hancur lebur. Kesedihan yang berumur panjang. Ia ada di dada, berdenyut dan kapan saja bisa menjadi hujan di pelupuk. Tidak mudah untuk abai pada kehancuran dan kehilangan. Apalagi untuk tetap bertahan di kota yang mengambil orang-orang yang kita kenali. Ke mana pun pergi, kesedihan itu menguntit seperti bayangan.
(Di sini, di bentang sajadah Indonesia, berserah kami padamu, paduka. Istigfar di Setiap Hela, Candra Malik, hal. 19.)
Duka Palu, Sigi dan Donggala adalah duka seluruh Indonesia, seluruh dunia. Setiap kali bencana menghantam sebuah kota, saya melihat manusia benar-benar menjadi manusia. Orang-orang menyediakan diri untuk orang lain. Duka yang menggerakkan itu semua. Duka yang mengetuk kemanusiaan.
(Suatu hari aku yakin, kau akan datang bertamu mengetuk pintuku. Krakatau (1), Gola Gong, hal. 25.)
Tinggal di Sulawesi lebih khusus Sulawesi Tengah adalah berumah bersama kekhawatiran dan keyakinan. Kekhawatiran terhadap kondisi alam yang rumit dan berbahaya. Keyakinan bahwa sewaktu-waktu kejadian yang tidak diharapkan akan terjadi.
Sesar Palu Koro hanya salah satu dari patahan yang “bersembunyi” di Sulawesi. Ada beberapa patahan lain yang juga mengkhawatirkan. Aplikasi BMKG di gawaimu sering memberi notifikasi gempa, Sulawesi Tengah bagian yang akrab dengan notifikasi tersebut. Berumah di Sulawesi adalah juga belajar mengakrabkan diri dengan bahaya (yang sudah kita ketahui keberadaannya).
(Ambillah semua yang kumiliki: segelas air mata, sepiring rindu, sepotong doa dan segenggam cinta yang tetap utuh dan murni. Doa Cinta, Joko Pinurbo, hal. 42.)
Joko Pinurbo mencatat doa dalam puisinya. Ia memanggil tuhan dengan lembut. Ia meminta sepenuh cinta untuk diberi kekuatan dan keikhlasan. Puisi Joko Pinurbo ini seperti sebuah pernyataan, bahwa ketika semua terjadi, tempat kembali hanya padaNya. Berdoa tidak hanya menjadi penghiburan tetapi juga menjadi sebuah “ruang” untuk menumbuhkan harapan. Harapan juga adalah sebuah keberanian untuk melanjutkan hidup.
(Suara seisi kota dan derit keranda masih terdengar jelas, berbaur dengan lengking sangkakala di pintu surga. Mario F. Lawi, Mata, hal. 49.)
Pasca-bencana, Palu sempat menjadi kota mati setiap malam tiba. Gelap seolah-olah menyembunyikan banyak hal, termasuk kematian dan beban berat orang-orang. Banyak orang meninggalkan Palu untuk mencari tempat aman. Ketika mereka kembali lagi, Palu tetaplah Palu. Tapi orang-orang akan memberi nama lain, misalnya, sebuah kota yang berhasil melewati fase kehancuran dahsyat.
(Segenggam tanah, jadilah! Kau mengenangku sebagai hujan kematian. Nalentora, Neni Muhidin, hal.52.)
Hujan kematian barangkali adalah sinonim dari banyaknya korban yang jatuh akibat gempa, tsunami dan likuefaksi. Neni Muhidin menulis puisi ini jauh sebelum kejadian tanggal 28 September 2018. Tapi kemudian puisi ini relevan sekali dengan kondisi dan bencana yang memerangkap duka di tanah Palu.
(Kau panggil aku: Lanun. Yang tak pernah mencatat hikayat laut. Di selatmu yang menua. Pinto Anugrah, Angin Lanun, hal. 57.)
Hikayat Teluk Palu tidak sampai di telinga saya yang awam. Satu hal yang mungkin adalah saya belum membaca catatan lengkap tentang Teluk Palu dari masa ke masa. Jika buku tentang itu ada, saya merasa harus membacanya. Catatan tentang teluk itu tentunya akan diperbaharui dengan segara. Di dalamnya ada ingatan-ingatan buruk yang berdiam, tapi mau tidak mau harus dicatatkan sebagai pengingat untuk kita dan pengetahuan untuk generasi setelah kita.
(Duduklah di sisiku. Seluruh pelukan akan berupaya mengikis sore kelabu itu dari ingatan. Ada yang Meletakkan Nyeri di Dadamu, Shinta Febriany, hal. 64.)
Pelukanlah yang kemudian dibutuhkan semuanya. Duka tidak pernah mudah, tapi pelukan senantiasa mampu meredam. Pelukan adalah kekuatan lain yang memungkinkan orang bangkit dan berani berharap lagi.
(Aku ingin menjadi tenang dan mencintaimu tanpa banyak kekhawatiran. Theoresia Rumthe dan Weslly Johannes, Dukamu Tidak Abadi, hal. 70.)
Dukamu tidak abadi adalah sebuah janji. Janji waktu kepada semua yang mengalami kehilangan. Waktu adalah penyembuh. Ada masa orang-orang akan mengingat tragedi ini, tetapi tidak lagi berkubang dalam pahit duka. Hanya mengenang, mengingatnya sebagai satu hari di September yang pahit.
Buku berisi foto dan puisi ini tidak hanya mengekalkan kepahitan, kesedihan dan duka. Buku ini monumen yang setiap saat bisa kau jenguk. Buku ini seharusnya membawa kita pada sebuah kesadaran untuk lebih waspada dan belajar lebih banyak tentang rumah yang kita tinggali. Buku ini sebuah renungan, membacanya semacam takziah untuk semua yang tinggal nama. (*)