Opini

Daring Bikin Darting

Oleh : Rachmad Lasaka (Pendidik dan Pegiat Literasi)

 

Rachmad Lasaka
Rachmad Lasaka

Saya baru saja menyelesaikan tulisan ini, di tengah kesibukan memindahkan nilai-nilai tugas siswa dari Google Classroom ke komputer jinjing. Bagi saya, perkara ini tidak semudah menuangkan air panas yang baru saja mendidih ke dalam termos. Sebagai seorang guru, saya merasa kewalahan memeriksa tugas-tugas siswa yang dikirim melalui layanan web gratis tersebut. Tulisan yang kecil, kabur, dan nyaris tak terbaca, ditambah hasil foto yang buram adalah sebagian kecil “siksaan” yang kerap kali ditemukan. Saya belum bicara benar atau salah tugas yang mereka kerjakan, hanya sekadar melihat foto tugas.

Selain Google Classroom, saya juga harus berbesar hati menerima kiriman tugas yang dikirim siswa melalui ­WhatsApp. Bayangkan saja, jika satu siswa mengirimkan 3 foto, berapa banyak foto yang akan berdesakan di galeri ponsel untuk puluhan siswa yang mengirim tugas? Foto-foto ini tentu akan tumpah ruah, dan bercampur aduk dengan foto lain yang berasal dari puluhan grup WhatsApp saya. Jika tidak segera memeriksanya, tentu akan semakin jauh tenggelam dan mencekik ruang memori gawai.

Sekarang, waktu untuk memeriksa tugas siswa lebih lama, dibandingkan dengan waktu untuk menatap layar facebook atau instagram. Ini belum termasuk melayani pertanyaan siswa yang belum memahami tugas belajar yang diberikan. Aplikasi penjawab teks otomatis yang sering saya gunakan untuk jualan daring, terpaksa saya berdayakan demi mengatasi kerepotan ini. Itu pun tak sepenuhnya membantu. Akhirnya saya mengalami text claw, semacam kram atau nyeri pada jari dan pergelangan tangan, akibat terlalu banyak mengetik di gawai. Beruntung jari-jari saya tidak sampai cedera trigger finger, hanya sedikit nyeri dan kram kecil.

Itu baru sebagian kecil derita yang saya alami selama belajar daring (dalam jaringan/online). Teman-teman yang seprofesi dengan saya, juga punya derita lain yang tak kalah bikin darting (darah tinggi). Mereka mengeluhkan siswa yang mengerjakan tugas asal-asalan, atau para siswa yang hanya rajin mengisi daftar hadir tapi malas mengirimkan tugas. Ada lagi siswa yang salah memahami instruksi belajar, misalnya disuruh kirim video hapalan niat wudhu, malah kirim video doa sesudah wudhu, atau diminta kirim video melempar tangkap bola kasti, malah pakai bola kaki, dan masih banyak lagi.

Di antara kerepotan-kerepotan ini, guru masih tetap wajib menyusun perangkat pembelajaran seperti RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran). Oh ya, satu lagi yang harus dipenuhi guru selama masa pandemi ini, yaitu membuat laporan mingguan pembelajaran jarak jauh. Untuk yang satu ini saya tak menyebutnya sebagai penderitaan. Sebab tanpa ini, Tunjangan Profesi Guru (TPG) tak akan cair.

Bicara soal darting selama daring, mungkin darting guru tak separah orang tua siswa. Kasus tewasnya Kesya di Lebak-Banten, bocah 8 tahun yang dianiaya oleh ibunya sendiri hanya karena sulit mengikuti pembelajaran jarak jauh menjadi salah satu bukti bahwa belajar daring benar-benar menguras emosi. Mungkin Kesya tidak sendiri, bisa jadi di luar sana ada puluhan bahkan ratusan anak yang mendapat tindakan kekerasan (dibentak, dicubit, atau dipukul) oleh orang tua gara-gara kesulitan dan ketidakmampuan mereka mengajar anak sendiri. Bahkan di media sosial, ada orang tua yang dengan terang-terangan mengunggah video mengajari anak dengan “cara” yang mengandung kekerasan.

Fenomena orang tua mendadak darting gara-gara-gara daring, sudah mulai terkuak sejak pembelajaran jarak jauh (belajar dari rumah) diterapkan awal Maret kemarin. Situasi pandemi yang berkepanjangan menjadikan orang tua sebagai orang yang paling stres saat ini. Betapa tidak, selain dipusingkan dengan urusan rumah, kini mereka harus rutin mendampingi anaknya belajar di rumah, dan menyelesaikan tugas sekolah. Seorang teman terpaksa meminta saya untuk memberikan les tambahan belajar (matematika) untuk anaknya, karena tak sanggup lagi menghadapi konten pelajaran yang menurut mereka tak masuk akal. “Kok pembagian bersusun sudah diajarkan di kelas 3 SD? Memang begitu ya kurikulum sekarang?” tanya seorang teman, suatu hari melalui perbincangan telepon. Teman yang lain juga sering curhat tak mampu menghadapi anaknya yang tak mau belajar. “Waduh, saya menyerah. Mungkin kalau kamu yang ajar pasti dia mau nurut”.

Kerepotan yang lain lagi datang dari orang tua yang paginya harus bekerja di luar rumah, entah itu sebagai ASN atau karyawan swasta. Pekerjaan mereka terganggu karena urusan belajar anaknya. Tak sedikit dari mereka yang terlambat ke tempat kerja karena masih mendampingi anaknya belajar. Ada juga yang terpaksa memandu anaknya belajar dari tempat kerja demi menghindari bolos kerja.

Beberapa orang tua yang saya wawancarai, mengaku stres menghadapi anaknya saat belajar. Apalagi jika anaknya tidak mau menuruti yang diperintahkan orang tuanya. Terkadang anak malah lebih suka bermain game atau nonton Youtube, ketimbang belajar. Curhatan lain dari orang tua adalah ketidakmampuan mereka menguasai semua mata pelajaran, karena merasa bukan bidangnya. “Guru saja dibagi untuk pegang satu atau beberapa pelajaran, kok orang tua malah dipaksa paham semua mata pelajaran”, begitu  omelan seorang ibu kepada saya.

Darting makin menjadi pula pada orang tua yang gaptek atau tidak mahir dengan berbagai aplikasi pada gawai. “Kenapa sih harus belajar pakai Zoom segala, kirim tugas di Google Classroom, isi daftar hadir di Google Form, memangnya WhatsApp saja tidak cukup?”. Kegalauan emak-emak ini pun mereka lampiaskan di berbagai status di media sosial. Kadang-kadang lucu, tapi juga memprihatinkan.

Kerepotan belajar daring tidak hanya dirasakan oleh keluarga ‘borju’ yang dilengkapi dengan fasilitas gawai memadai, tetapi juga menyasar pada keluarga yang dengan keterbatasan secara finansial. Ada orang tua siswa yang menawarkan pembelajaran di sore hari saja, sebab gawai masih dipakainya di tempat kerja dan baru bisa digunakan anaknya sepulang kerja. Ada pula orang tua siswa yang mengeluhkan mereka hanya memiliki satu gawai untuk dipakai bersama kakak adiknya yang juga bersekolah di SD dan SMA, sehingga akan kerepotan jika jam pembelajaran diadakan secara bersamaan di pagi hari. Belum lagi orang tua yang mengeluh tak mampu beli paket internet untuk anaknya, meskipun ponselnya berbasis android, tak mampu berlangganan layanan internet pribadi sehingga mencantol pada tetangga, atau tak mampu menyewa layanan internet harian di tetangga yang berbisnis sewa-menyewa layanan internet.

Lantas, dengan adanya fenomena ini apakah kita harus menyalahkan guru yang sering memberikan banyak tugas? Tidak perlu. Guru hanya perlu mengevaluasi belajar daring yang sudah berjalan. Guru harus menyadari bahwa kapasitas dan kondisi setiap orang tua siswa tidak sama. Orang tua memiliki latar belakang pendidikan, pola kerja, dan kesiapan yang berbeda-beda.

Orang tua siswa pun tak perlu marah-marah saat mendampingi anak dalam belajar. Kita harus pahami bersama bahwa kondisi saat ini tidak mudah. Pertimbangkan kondisi psikis anak. Jangan sampai emosi kita, justru mengganggu perkembangan mental dan kecerdasannya. Masih mau marah saat mendampingi anak belajar? Saran saya, lebih baik bersabar demi kebaikan anak dan diri sendiri. Selebihnya, resep terus bertahan di masa yang serba sulit ini: jaga kesehatan fisik dan mental, salah satunya tidak perlu emosi saat belajar daring. (*)