LUWUK, LUWUK POST— Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia Perwakilan Sulteng, menyayangkan peristiwa pemukulan dan pengrusakan kamera yang dialami tiga jurnalis saat peliputan aksi demo penolakan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law di Palu, Kamis (8/10) lalu.
Pada peristiwa itu, Alsih Marselina (wartawan SultengNews.com) mengalami luka dan memar di wajah, Aldy Rifaldy (wartawan SultengNews.com) dipukul bahu belakangnya dan Fikri (wartawan Nexteen Media) dikejar dan kamera liputannya rusak karena dibanting aparat berpakaian preman.
Ketua Komnas HAM Sulteng, Dedi Askary SH, menegaskan, pemukulan dan pengrusakan tersebut sungguh merusak demokrasi di Indonesia. Lebih jauh, peristiwa itu mencerminkan kegagalan reformasi birokrasi di tubuh kepolisian serta gagalnya kebijakan program Promoter yang digembar-gemborkan oleh institusi kepolisian.
Bahkan, peristiwa tersebut memperlihatkan posisi kelembagaan institusi kepolisian berada pada posisi nadir dalam merespon massa aksi yang terjadi kala itu.
“Institusi kepolisian wajib menghormati dan melindungi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap masyarakat tanpa diskriminasi, baik yg dilakukan langsung melalui unjuk rasa damai maupun melalui media cetak, karya seni, media elektronik maupun media sosial,” tandas Dedi melalui siaran pers tertulis, Senin (12/10).
Lebih jauh, Polri di dalam melakukan pengamanan aksi menyampaikan pendapat dan ekspresi agar dilakukan secara proporsional, berimbang dan sesuai dengan keperluan, dengan mendahulukan negosiasi dan dialog.
Tindakan kekerasan dan intimidasi yang dilakukan aparat kepolisian terhadap wartawan tersebut, kata Dedi, melanggar UU 40/1999 tentang Pers, sebagaimana yang diatur dan/atau ditegaskan dalam Pasal 8 yang menyatakan bahwa dalam menjalankan profesinya, jurnalis mendapat perlindungan hukum.
Lalu dalam Pasal 18 disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Oleh karena itu, Kapolda Sulteng diminta memerintahkan Dirpropam Polda Sulteng untuk melakukan penyelidikan terhadap anggota Polri yang melakukan tindak kekerasan kepada tiga wartawan maupun elemen mahasiswa. Kapolda juga harus memberikan punismen berupa mutasi bersifat demosi kepada personil Polri yang terlibat bila proses internal personel kepolisian dinyatakan terbukti bersalah.
Anggota Polri yang terlibat juga harus ditindaklanjuti dalam mekanisme hukum di peradilan umum, mengingat anggota Polri bukanlah anggotan dan/atau institusi militer. “Ini menjadi penting dan strategis sebagai pembuktian bahwa di institusi kepolisian benar-benar melaksanakan reformasi birokrasi dan menjalankan kebijakan dan program Promotur yang saban waktu digembar-gemborkan oleh pejabat di kepolisian,” kata Dedi. (awi)