Oleh: Ama Achmad
(Penulis dan Pegiat Literasi)
BEBERAPA hari lalu, sebuah informasi masuk di wag Forum Taman Baca Sulawesi Tengah. Program magang bagi pegiat literasi. Salah satu syarat daftarnya adalah menulis artikel tentang kebencanaan minimal 500 kata. Menulis artikel kebencanaan barangkali hal yang agak sulit, mengingat kita adalah bangsa yang gagap mitigasi dan literasi bencana.
Salah satu bagian kecil dari pelajaran terkait kebencanaan yang saya ingat karena terus terdengar dari SD hingga SMP adalah erosi dan banjir; bahwa erosi adalah pengikisan permukaan tanah, dan banjir adalah meluapnya air, merendam permukiman, dan sebagainya. Dalam pelajaran SD juga, guru bidang studi IPA menjelaskan bahwa banjir bisa juga terjadi karena erosi. Erosi di lereng gunung, menyebabkan banjir bandang. Ada juga “peringatan” sebab-sebab kedua gejala alam itu terjadi, salah satunya karena ulah manusia. Peringatan itu (seingat saya), diberitahu ibu guru dengan “jangan menebang pohon, jangan buang sampah sembarangan, pentingnya reboisasi…” dan hal semacam itu. Kita juga diajarkan, bahwa bencana alam dibagi berdasar dua kategori, yakni bencana alamiah dan bencana antropogenik; bencana yang terjadi secara alami dan bencana yang terjadi karena ulah manusia. Praktisnya, pengetahuan kita tentang kebencanaan berkisar dalam lingkup kecil itu saja.
Padahal kita tahu, Indonesia sangat rawan bencana. Dikelilingi cincin api Pasifik dan berada di atas tiga lempeng benua, kondisi geografis inilah yang membuat kita rawan bencana letusan gunung api, gempa bumi, dan tsunami. Ada begitu banyak pelajaran dari bencana yang telah dilewati negeri ini, tetapi semuanya mengendap menjadi ingatan pahit saja. Tidak ada pemahaman lain yang tumbuh untuk disiasati bersama pemerintah dan masyarakat, terkait “hidup di lingkar cincin api” ini. Tak hanya itu, kita masih harus waswas dengan bencana hidrometeorologi, banjir, angin puting beliung, dan tanah longsor. Ditambah lagi, bencana antropogenik seperti kebakaran hutan.
Semakin ke sini, bumi juga cemas dengan perubahan iklim. Isu yang bikin saya tidak bisa tidur salah satunya adalah pemanasan global, suhu bumi yang bakal melonjak 13 sampai 30 kali lipat di tahun 2100 mendatang. Warga dunia, mau tidak mau harus peka terhadap dinamika lingkungan. Narasi-narasi perubahan iklim yang masih kurang terkabar dan tak sepenuhnya dipahami, harusnya semakin masif disosialisasikan. Bagi saya, ini bukan semata kampanye menakut-nakuti, tetapi sebenar-benarnya “kiamat” yang harusnya bisa kita “tangguhkan” dengan beragam cara.
Di sinilah kemudian literasi kebencanaan dan mitigasi bencana, mengambil peranan penting. Literasi bencana dalam pemahaman saya, adalah kecakapan terhadap kebencanaan, yang mampu diaplikasikan dalam konteks sosial. Meski terbilang baru, nantinya literasi bencana akan meningkatkan pemahaman dan daya kritis masyarakat terhadap bencana. Pemahaman dan daya kritis yang meninggi, dengan sendirinya membangun kapasitas masyarakat terhadap mitigasi bencana. Pelan-pelan akan terbentuk kesinambungan, kesadaran risiko bencana dan kemampuan mitigasi.
Dalam lingkup luas, mitigasi bencana menjadi tugas kita semua. Pemerintah lewat perencanaan dan pelaksanaan tata ruang yang berbasis analisis risiko, serta sektor pendidikan terkait penyelenggaraan pelatihan dan penyuluhan. Sementara untuk perubahan iklim, pemerintah seharusnya mulai memikirkan penambahan ruang terbuka hijau, dan mulai melakukan pendekatan pembangunan pemukiman dengan memikirkan isu lingkungan. Dari semua itu, masyarakat di akar rumput adalah pembawa pesan terbaik untuk peningkatan pemahaman dan daya kritis bencana, juga menyosialisasikan mitigasi yang masif. Semuanya hanya wacana di atas kertas, jika literasi bencana tidak menjadi bagian dari literasi paling dasar, dan fokus semua kalangan.
Pendekatan kultural pada praktik literasi bencana, barangkali adalah resep mudah untuk dikerjakan di akar rumput. Dimulai dengan memanfaatkan tulisan dan bahasa yang umum, dan menceritakan legenda atau dongeng setempat terkait bencana. Keduanya perkara ringan untuk dilakukan, sehingga pelan-pelan kesadaran akan risiko mulai terbentuk. Mengapa hal ini mudah? Dari hasil mengobrol dengan seorang kawan penggemar sejarah, saya akhirnya tahu bahwa di beberapa daerah ada folklor tentang bencana yang umum diketahui. Di Aceh, ada cerita berjudul Smong yang artinya gempa dan tsunami. Cerita ini dituturkan dalam sebuah syair. Juga Teteu yang berarti gempa dalam bahasa Mentawai, yang dipopulerkan dalam bentuk lagu. Di tempat kita tinggal, saya belum menemukan folklor yang menceritakan tentang bencana, tetapi beberapa suku di sini memercayai tanda-tanda alam terkait datangnya bencana.
Selanjutnya, untuk menyasar kelompok yang lebih luas, maka penting menggerakkan komunitas-komunitas sebagai “penyampai kabar” yang menyelipkan kesadaran kebencanaan dalam setiap kegiatannya. Nantinya pendekatan kultural dan kemasyarakatan ini, akan erat kaitannya dengan upaya pengenalan mitigasi bencana. Sebab bagaimanapun, mitigasi di daerah yang rawan gempa, tentu akan berbeda dengan mitigasi di daerah rawan banjir.
Rasanya perlu untuk mulai menyelipkan isu ini dalam percakapan, dan lebih penting lagi dalam pendidikan. Pemahaman dan informasi tentang kebencanaan wajib didengungkan, agar kita tak lagi awam dengan hal tersebut, sehingga tidak mudah terbawa hoaks, dan mahir dalam upaya bertahan atau meminimalisasi risiko.
Selebihnya, benar apa yang dikatakan Neni Muhidin, dalam sebuah acara yang diselenggarakan Perkumpulan Literasi Nasional, bahwa sudah seharusnya Literasi Bencana menjadi literasi ketujuh yang dekat dengan keseharian masyarakat.
Catatan ini, saya tutup dengan penggalan syair Smong, yang saya kutip dari sebuah artikel.
Engel mon sao surito, inang maso semona (dengarkan kisah ini, pada suatu hari). Manoknop sao fano, uwilah da sesewan (tenggelamlah suatu desa, begitu yang diceritakan). Unen ne alek linon, fesang bakat ne mali (diawali dengan gempa bumi, diikuti surutnya air laut). Ango linon nek malo oek suruk sauli (ketika terjadi gempa dahsyat, diikuti surutnya air laut) Maheya mihawali fano me senga tenggi (segera cari tempat yang lebih tinggi). (*)