Literasi, Kecakapan yang Memerdekakan
Oleh : Baginda Muda Bangsa/Pegiat Pendidikan
Tahun 2013, Miles Films menayangkan film yang menceritakan seorang perempuan idealis yang memutuskan untuk tinggal di hutandemi mengajarkan literasi bacatulis kepada orang rimba atau suku Anak Dalam di Jambi.
Film ini bercerita tentang Sokola Rimba. Film yang diangkat dari pengalaman hidup Saur Marlina Manurung atau yang dipanggil Butet Manurung dalam merintis sebuah sekolah yang menyediakan pendidikan alternatif bagi komunitas adat.
Di akhir film ditampilkan adegan di mana Nyungsang Bungo, seorang anak rimba dari Makekal Hilirsedang berunding denganpengusaha sawit. Ia membacakan pasal-pasal perjanjian yang dirasa merugikan orang rimba.Sebuah kejadian yang mustahil terjadi ketika mereka masih belum bisa bacatulis.
Adegan ini memberi kesan yang sangat kuat tentang pemaknaan literasi, bahwa literasi tidak hanya sekadar tentang baca-tulis, tapi lebih dari itu literasi dapat menjadi kekuatan untuk berdaya.
MenontonSokola Rimba menarik saya untuk merefleksikan kembali makna literasi dalam kehidupan manusia. Saya yakin semua sepakat bahwa literasi adalah hal yang sangat penting bagi kehidupan.
Pemerintah pusat pun tidak pernah luput menempatkan literasi sebagai bagian dari agenda pembangunan. Pentingnya literasi bagi pembangunan semakin terlihat manakala perubahan dunia yang begitu cepat diiringi dengan persaingan ekonomi yangsemakin ketat.
Demi meningkatkan kemampuan literasi masyarakat Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggagas sebuah program yang bernama Gerakan Literasi Nasional (GLN).
Dalam peta jalan GLN dijelaskan bagaimana kondisi literasi Indonesia terkini.Apa yang harus ditingkatkan dan program-program yang akan dijalankan untuk mencapai kondisi literasi yang lebih baik.
Setelah mencoba mencermatinarasi dan agenda yang dibawa oleh pemerintah.Ada hal-hal yang mengganjal bagi saya.Salah satunya adalah tentang pemaknaan literasi bacatulis.
Entah kenapa saya merasa narasi yang dibawaterkait literasiselalu saja dikaitkan dengan manfaat ekonomi.Kesan yang muncul selalu saja jika kualitas literasi semakin baik, maka akan semakin banyak masyarakat yang dapat berkontribusi pada perekonomian dan akan semakin baik pula perekonomian negara ini secara agregat.
Saya pun sama sekali tidak menafikan pentingnya fungsi ekonomi dari literasi. Namun demikian, fokus yang berlebihan pada ekonomi ini akhirnya menurut saya telah mengaburkan esensi lain dari literasi yang juga tidak kalah penting. Bagaimana literasi tidak hanya bicara tentang manfaat ekonomi, tapi juga literasi bicara tentangkemerdekaan diri dan kesadaran kritis, seperti halnya kisah orang rimba yang akhirnya berdaya dan mampu “melawan” kesewenang-wenangan dari pengusaha sawit.
Saya mengamini apa yang dituliskan oleh Paulo Freiretentang makna literasi. Freire dalam bukunyaLiteracy:Reading The Word and Reading The World menyampaikan bahwa literasi tidak seharusnya hanya dilihat sebagai kemampuan membaca, menulis, dan memahami teks yang wajib dimiliki agar setiap dari kita bisa masuk ke dalam dunia kerja.
Jauh dari itu, literasi harusnya dimaknai sebagai kemampuan yang dapat memerdekakan diri dan menumbuhkan kesadaran kritis, sehingga setiap dari kita dapat menjadi aktor yang turut aktif dalam membentuk sejarah tidak hanya diam dan patuh menerima kondisi dunia.
Jika menengok sejarah Indonesia, kita akan temukan di mana tokoh pendidikan dan pers di masa perjuangan nasional menjadikan literasi sebagai ujung tombak untuk menciptakan kesadaran dan kemerdekaan diri agar setiap individu dapat menentukan nasibnya sendiri.
Mungkin akan ada yang berkata, “ya waktu itu kita kan sedang dijajah dan ketidakadilan dimana-mana, jadi sudah sepantasnya tujuan literasi seperti itu”. Pertanyaan saya, apakah iya sekarang kita sudah merdeka? Apakah negeri ini sudah nihil ketidakadilan? Silakan teman-teman menjawab sendiri pertanyaan ini.
Bagi saya semangat memerdekakan diri harusnya terus terefleksikan di dalam narasi dan kebijakan literasi di Indonesia.
Berangkat dari pemaknaan di atas, rendahnya literasi pada akhirnya tidak boleh hanya dilihat sebagai ancaman pada perekonomian belaka karena hal ini pada dasarnya dapat berkontribusi pada lahirnya ketidakadilan. Konsekuensi dari ketidakadilan bagi saya sangatlah fatal.Ia akan melahirkan penindasan, mencabut kemerdekaan diri, dan merampas hak untuk menentukan nasib sendiri. Sudah banyak kejadian di negeri ini yang dapat menggambarkan derita yang lahir dari ketidakadilan.
Lalu, bagaimana kita dapat menciptakan literasi yang memerdekakan diri? Kita bisa mulai dari mengubah pola asuh di rumah dan pengajaran di sekolah.Kenapa dimulai dari rumah dan sekolah? Bagi saya dua tempat ini adalah pertemuan awal anak dengan konsep kemerdekaan diri dan kesadaran kritis.
Keluarga adalah tempat interaksi pertama bagi setiap individu, ada banyak hal yang dapat dibentuk melalui interaksi di dalamnya, salah satunya adalah kemerdekaan diri dan kesadaran kritistadi. Apakah anak diberikan ruang untuk bertanya dan menggali setiap keingintahuan mereka atau tidak?Adanya ruang bertanya menurut saya akan membantu dalam menjaga dan menguatkankemerdekaan diri dan kesadaran kritis anaksebelum mereka tumbuh dewasa.
Kemudian, sekolah yang merupakan institusi pendidikan sudah seharusnya mempraktikkan literasi yang memerdekakan diri dan membangkitkan kesadaran kritis. Para pendidik seharusnya mendorong murid untuk menjadi lebih kritis dengan menggunakan pendekatan pengajaran yang berbasis dialog dan refleksi. Melalui praktik ini guruseharusnya menempatkan diri mereka bukan sebagai pihak yang selalu benar dan paling tahu, tidak hanya mencekoki anak dengan hal-hal yang dirasa benar menurut guru.
Tanpa memberi ruang bagi kebebasan berpikir, pertukaran pandangan, dan refleksi.Bagi saya murid tidak bisa dilihat sebagai gelas yang kosongkarena pada hakikatnya setiap orang punya kemampuan untuk memberi makna atas peristiwa di sekitar mereka. Setiap orang mampu menciptakan pengetahuannya sendiri.
Karena itu, sudah sepatutnya interaksi yang terjalin adalah interaksi dua arah yang berdasarkan rasa hormat dan empati, bukan dominasi.Pengarusutamaan pandangan literasi yang memerdekakantentu bukan perkara mudah.
Diperlukan upaya kolektif antara pemerintah, masyarakat, sekolah, dan keluarga. Saya yakin dan percaya jerih payah ini pada akhirnya mampu menciptakan budaya literasi yang kuat di Indonesia.
Literasi yang tidak hanya dipandang dari fungsi ekonomi saja, tapi juga dari kemampuannya untukmembuat setiap orang merdeka dan berdaya.Percayalah dengan tingkat literasi yang baik, kemajuan ekonomi, sosial, dan politik akan menjadi sebuah hal yang tidak terelakkan.
Terakhir, saya ingin menutup tulisan ini dengan beberapa pertanyaan yang mungkin bisa menjadi refleksi bersama.Bagaimana dengan kondisi literasi di Kabupaten Banggai? Apakah literasi kita sudah memerdekakan? Apakah literasi sudahdianggap penting di mata pemerintah daerah dan masyarakat? Atau jangan-jangan mereka takacuh. Jawabannya saya serahkan kepada teman-teman sekalian. (*)