Menundukkan Pemerintah
Oleh: Dahlan Iskan
SAYA kagum pada semangatnya –pemerintah dan DPR. Dari segi politik, inilah pemerintahan paling kuat selama 22 tahun terakhir.
Pemerintah sekarang lebih kuat dari zaman Presiden Gus Dur, Megawati, SBY, apalagi B.J. Habibie.
Memang B.J. Habibie bisa menguatkan rupiah dari Rp 17 ribu per dolar menjadi Rp 8 ribu. Hanya dalam waktu kurang dari dua tahun. Tapi pemerintahannya hanya seumur jagung. Secara kapasitas begitu kuat Habibie, tapi secara politik begitu rapuh.
Gus Dur dan Megawati begitu kuat dari segi basis pendukung. Megawati begitu kuat bersandar pada proklamator legendaris yang juga ayah biologis-ideologis. Tapi kalah di Pilpres.
Gus Dur begitu kuat basis kulturalnya, tapi juga hanya berkuasa setengah periode.
SBY agak beda. Meski melewati krisis tsunami dan krisis keuangan 2008, tapi kekuatan dukungan kapasitasnya membuat SBY bisa menjadi presiden dua periode. Kalau saja tidak ada pembatasan masa jabatan ia akan bisa tiga periode.
Tapi dukungan politik di DPR tidak sekuat pemerintah sekarang. Waktu itu PDI-Perjuangan oposisi frontal. PKS main petak umpet. Tapi SBY pandai bermain di antara arus-arus politik itu.
Sekarang hanya PKS yang oposisi frontal. Tapi kekuatan kursinya kecil sekali.
Praktis sekarang ini DPR memberikan dukungan penuh kepada pemerintah. Mulai dari perubahan di KPK, UU Covid-19, dan terakhir Omnibus Law ini. Semua begitu mulusnya lolos di DPR.
Belum lagi soal praktik sehari-hari di pengelolaan negara. Saya melihat semua begitu mulusnya. Begitu enak menjadi menteri-menteri sekarang ini. Tidak harus menghadapi sikap DPR yang sangat garang.
Saya begitu kagum dengan kekuatan pemerintah sekarang. Juga pada semangat melakukan pembaharuan: inikah revolusi mental yang dimaksud dulu?
Saya membayangkan betapa lelah dan rumitnya menyiapkan RUU Cipta Kerja –nama resmi Omnibus Law itu.
Terutama bagaimana 79 UU harus ditinjau untuk dirangkum hanya dalam satu UU Cipta Kerja. Yang terdiri dari 11 kluster dan 1.244 pasal.
Secara teori, UU Cipta Kerja ini akan menyelesaikan saling tabrakannya begitu banyak UU. Berakhirlah era hukum tidak sinkron di bidang ini.
Sudah lama begitu banyak yang ngomel: kok UU isinya saling bertabrakan. Bertahun-tahun omelan seperti itu menjadi wacana nasional. Saking lamanya tidak ada penyelesaian seolah bangsa ini hanya bisa menggerutu. Tidak bisa menyelesaikan.
Lalu, pemerintah sekarang ini berusaha menyelesaikannya. Lewat penggabungan menjadi satu, UU Cipta Kerja ini. Tempulu DPR-nya tidak rewel. Tempulu DPR lagi baik-baik kepada pemerintah.
Tapi tenaga kerja pasti akan berontak dengan lahirnya UU Cipta Kerja ini.
Sejak awal pun pasti sudah diketahui: tenaga kerjalah yang akan terkena langsung.
Karena itu judul UU ini pun sebenarnya sudah dipilih yang paling bersahabat dengan perasaan tenaga kerja: UU Cipta Kerja. Dikira dengan judul itu tenaga kerja akan manggut-manggut dan berdecak kagum.
Kalau saya lebih setuju dengan blak-blakan saja: UU Peroketan Perekonomian Nasional –atau nama lain yang lebih jujur. Tujuan utamanya toh itu: menggairahkan kehidupan ekonomi. Bahwa setelah ekonomi maju akan berdampak terciptanya lapangan kerja itu adalah sunatullah.
Tapi politik memang mengajarkan: jujur saja tidak cukup. Harus pandai juga berkelit.
Maka ke depan ini tantangannya di luar DPR: aksi buruh. Menteri ketenagakerjaan akan sulit tidur. Tapi ini sudah di luar kemampuan seorang menteri. Ini sudah menyangkut keamanan dan kestabilan nasional.
Memang, semua pengusaha mengeluhkan UU Tenaga Kerja yang lama. Yang dilahirkan di zaman Presiden Megawati. Dengan menteri tenaga kerjanya yang gegap gempita saat itu: Jacob Nuwa Wea.
Misalnya, bagaimana bisa ada pasal ini: seorang karyawan yang dipecat karena mencuri juga harus mendapat pesangon.
Tapi di UU Cipta Kerja yang baru ini bukan hanya pasal itu yang dihapus. Tapi juga upah minimum, cuti pribadi, karyawan kontrak, outsourcing, dan beberapa lagi.
Dasar pemikirannya: semua ketentuan lama itu tidak membuat buruh kita punya daya saing. Kalah produktif. Produktivitas satu buruh di Tiongkok disamakan dengan empat atau delapan buruh di sini.
Di sini pemerintah dituntut untuk mampu meyakinkan buruh.
Pemerintah sudah mampu ”menundukkan” DPR. Kita tidak perlu tahu kiat apa yang dipakai untuk menundukkan para politikus itu.
Kini kita menunggu bagaimana kiat pemerintah untuk mengendalikan pergolakan buruh.
Mungkin pemerintah sudah punya cadangan kiat untuk itu. Sehingga perhatian saya justru pada persoalan berikutnya: bagaimana pemerintah bisa sukses ”menundukkan” diri sendiri.
UU Cipta Kerja ini tidak hanya soal tenaga kerja. Soal tenaga kerja hanyalah satu saja dari 11 kluster yang ada di dalamnya.
Semua kluster itu menimbulkan pekerjaan rumah yang luar biasa di meja pemerintah.
Misalnya soal kluster perizinan usaha. Dasar pemikiran UU Cipta Kerja ini modern sekali.
Prinsipnya, tidak semua usaha perlu izin.
Usaha itu perlu dilihat tingkat risikonya: rendah, menengah, tinggi.
Usaha yang risikonya rendah, untuk apa perlu izin. Ini pemikiran yang radikal-esktrem. Saya suka sekali dengan pemikiran seperti ini. Sekarang yang seperti itu sudah bukan lagi pemikiran –tapi sudah menjadi UU.
Menurut UU baru ini, usaha yang risikonya rendah tidak perlu izin. Cukup melakukan pendaftaran. Ini hebat sekali.
Usaha yang risiko rendah ini juga tidak perlu diawasi.
Hanya usaha yang risikonya tinggi –risiko kecelakaan, lingkungan, dan sejenisnya –yang perlu izin.
Masih banyak yang modern-modern seperti itu di UU Cipta Kerja. Yang secara bertahap saya ingin mengikhtiarkannya di Harian Disway.
Maka, yang sangat saya khawatirkan adalah pelaksanaannya nanti.
Setelah bisa ”mengalahkan” DPR dan mengalahkan gerakan buruh, mungkinkah pemerintah bisa ”mengalahkan dirinya sendiri.”
Bukankah semangat aparat untuk mencari uang dan objekan dari perizinan selama ini melebihi bahaya laten komunis.
UU Cipta Kerja ini, meski sudah resmi diundangkan, belum bisa langsung dilaksanakan. Masih begitu banyak peraturan pemerintah yang harus dibuat. Banyak sekali.
Pasal-pasal di UU Cipta Kerja ini banyak yang diakhiri dengan kalimat: untuk pelaksanaan pasal ini diperlukan pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah.
Pun nanti, kalau peraturan pemerintahnya sudah keluar, masih harus ditunggu peraturan yang lebih bawah lagi: peraturan menteri. Lalu akan ada peraturan dirjen, peraturan gubernur, peraturan bupati, peraturan wali kota, dan seterusnya.
Semua itu adalah bagian dari pemerintah yang harus ditundukkan oleh pemerintah sendiri.(*)