Feature

Teror Horor di Kedai Mangge

INI bagian dari skenario kan Try?” bisik saya kepada Try Anugrah, pemilik kafe Dg Mangge Premium saat mendatangi tempat duduk kami.

Saya spontan bertanya, setelah ambulans dengan sirene meraung–raung berhenti mendadak di depan kafe Dg Mangge Premium. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 22.10 wita.

Beberapa satgas turun dengan APD lengkap, tak ubahnya petugas–petugas kesehatan di Tiongkok yang menjemput paksa warga terinfeksi Covid-19. Suasana hening, atmosfer kedai dicekam was-was.

Mereka bernegosiasi dengan panitia kegiatan, untuk membawa salah satu pengunjung yang hadir ke rumah sakit.

Pejabat Kepala Bidang pada Dinas Pariwisata sampai–sampai harus mengambil mikrofon, dan menyampaikan permohonan maaf atas terganggunya kegiatan pementasan seni. Padahal saat itu, acara tengah seru-serunya.

Ia menyampaikan, salah satu dari pengunjung kafe yang baru kembali dari kota Makassar itu, harus dijemput Satgas Covid. Dari hasil tes cepat, si pengunjung diketahui reaktif.

Saya sungguh  khawatir. Sebab, delapan jam sebelum hadir meliput acara itu, tak sengaja saya bertemu dan mengobrol cukup lama dengan pengunjung yang dimaksud. Kebetulan saat itu, kami duduk di tempat duduk yang sama, dengan yang saya tempati bersama teman-teman malam itu.

Perdebatan pun terjadi di meja kami. Terutama keberanian petugas dengan APD lengkap, mendatangi dan “mengacaukan” acara yang dihadiri Kejari Banggai. “Ini bagian dari teatrikal,” kata Evan, wartawan yang bersama kami, menenangkan.

”Satgas selalu turun bersama TNI-POLRI,” tambahnya, yang lalu disepakati oleh teman-teman lainnya.

Saat itu Satgas memang tidak didampingi Polri. Meski begitu, saya masih tetap kurang yakin. Sebab, saya menyaksikan sendiri pemeriksaan rapid test di pos pelabuhan feri pada Sabtu (10/12) dini hari, dua pekan lalu. Saat itu, sekira tiga atau empat petugas kesehatan nekat bertugas memeriksa dokumen perjalanan penumpang kapal yang baru tiba dari Salakan tanpa didampingi aparat pengamanan.

Akhirnya Chimang—panggilan akrab Risman Saripudin—salah satu pengunjung kafe yang duduk di deretan bangku paling depan itu pun mengalah. Ia berjalan gontai menuju mobil ambulans, dengan pengawalan dua orang satgas. Kafe pun mendadak hening saat sirene ambulans menjauh. Saat itu saya pikir, semua penonton sama seperti saya, ragu dan khawatir.

Tak lama kemudian, Chimang, muncul di tengah-tengah pengunjung. Mengonfirmasi kekhawatiran saya maupun pernyataan teman, bahwa kekacauan itu ternyata benar-benar bagian dari aksi teatrikal yang dipersembahkan Dewan Kesenian Banggai.

KOMPLIT: Rangkaian pertunjukan The Mask, kelucuan, teror horor, maupun adegan-adegannya dikemas cukup apik. [Foto: Haris Ladici/ Luwuk Post]
KOMPLIT: Rangkaian pertunjukan The Mask, kelucuan, teror horor, maupun adegan-adegannya dikemas cukup apik. [Foto: Haris Ladici/ Luwuk Post]
Pementasan sekira 30 menit dari kelompok Dewan Kesenian Banggai ini benar-benar sebuah hiburan menarik. Rangkaian pertunjukan The Mask tersebut, komplit. Kelucuan, teror horor, maupun adegan-adegannya dikemas cukup apik. Membawa penonton ke atmosfir sepi, sekaligus mengundang tawa.

Sejak awal pementasan, saya yang duduk di meja paling belakang dan paling pojok sudah dikagetkan oleh kemunculan sosok wanita berbaju hitam dan bertopeng putih. Saat saya datang, dan bergabung dengan teman-teman wartawan, sekelebat saya memang sudah melihat seorang perempuan duduk di pojokan taman. Sendirian. Saat pementasan dimulai, lampu dipadamkan dan instrumen diputar, sosok perempuan bertopeng itu berubah wujud menjadi makhluk lain yang menebar ketakutan. Ia berjalan pelan, mengitari meja-meja, sesekali singgah cukup lama di beberapa meja.

Suasana yang gelap, malam Jumat, dan bulan sabit yang melengkung sempurna di atas kedai, cukup membuat saya bergidik.

Sosok bertopeng itu, berjalan pelan ke depan panggung seakan mencari atau menuju seseorang.

Musik latar belakang dengan denting piano itu sungguh horor. Saya seperti ada dalam adegan film, menjadi bagian dari teror horornya.

Puisi Suparman Tampuyak, menandai permulaan pementasan. Suaranya yang lantang, memecah hening. Satu buah bohlam di atas kepalanya, bergoyang-goyang mengantarkan gelombang ketakutan.

“Suara-suara tak berjarak, datang menyentak seluruh penduduk bumi. Gegap gempita warga bumi diisolasi oleh sepi, karena ketakutan datang mencumbui, covid seketika menyulut kesunyian bumi, covid seketika membungkam derai-derai mimpi. Kau di sana, dicumbui virus petaka, dan aku masih di sini. Tinggallah aku di sini, mencumbui suara-suara dari jarak yang tak berjarak.”

Acara ini memukau pengunjung. Apalagi dilanjutkan dengan pementasan drama bertema pentingnya menggunakan masker yang diperankan oleh anak asuh Subrata Kalape dari Sanggar Seni Rompong, dan ditimpali Bayu Paku dan Ukhy Semok.

– – – –

Acara itu memang didedikasikan membantu pemerintah daerah, untuk menyosialisasikan Protokol Kesehatan dan sanksi bagi para pelanggarnya, baik perorangan maupun pelanggaran oleh pelaku usaha. Kegiatannya memang dikemas dalam bentuk teater oleh Dewan Kesenian Banggai, bekerja sama dengan Kejari Banggai, dan disponsori JOB Tomori.

Sejatinya, kegiatan ini  adalah sosialisasi pencegahan Covid-19, sehingga sejak awal pemilik kafe dan panitia menerapkan protokol kesehatan. Pengunjung dibatasi, duduk berjarak, dan tentu saja memakai masker.

Dengan protokol kesehatan, pementasan itu tetap bisa dinikmati semua pengunjung. Rangkaian pertunjukan yang disutradarai oleh Suparman Tampuyak dan Subrata Kalape, sukses menyampaikan pesan-pesan kesehatan pencegahan Covid-19 kepada pengunjung. (haris ladici)