“Di sini kita biasa bantu korban kapal tenggelam. Terakhir yang lalu kecelakaan kapal Fungka. Ada berapa mayat kita taruh di teras sekolah,” kata Ishak Laugi, Kepala Desa Togong Sagu menjawab tanya saya sambil rebahan menikmati bintang di dego-dego depan rumah saat bercengkerama bersama para warga lelaki lainnya di jam dua malam, Senin (12/10) lalu.
—-
Rahmat Azis, Penulis Perjalanan Lepas
—-
“Kita sudah biasa (dengan gelombang ganas). Kalau penduduk di sini Alhamdulillah tidak pernah ada yang celaka di laut,” tambah warga lainnya dengan nada tetap merendah. Bagi saya itu penegasan ketangguhan mereka. Pak Ikhtiar, Harianto, Badruddin, adalah beberapa dari banyak lelaki tangguh pulau ini yang saya ingat baik namanya dari sekian banyak yang sempat bercengkerama hangat.
Warga Togong Sagu memang sudah biasa menerima “hadiah” tak terduga Laut Banda. Terkadang kulkas atau kontener berisi makanan instan atau barang-barang dari kapal tenggelam di sekitar perairan mereka. Ini perairan lintasan kapal-kapal barang dan penumpang meski tak ramai. Di tengah perjalanan menuju mereka, saya bahkan sempat mendekati kapal tunda yang menarik tongkang yang mungkin memuat nikel ke arah Maluku.
Dalam setahun, memang hanya di bulan Desember dan Januari, penduduk Togong Sagu menikmati teduhnya laut yang sesungguhnya. Itu karena musim Angin Utara yang berhembus kencang terhalang Pulau Peling dan Pulau Banggai yang jauhnya tidak kelihatan lagi membuat perairan di Gugusan Kepulauan Banggai menjadi teduh.
Selebihnya, gelombang ganas Laut Banda sudah biasa. Yang paling sangar di bulan Juli dan Agustus. Saat musim Angin Selatan membuat membuat penumpang kapal bisa tidak melihat puncak bukit pulaunya sendiri dari dekat, kala kapal mengikuti ayunan gelombang turun di penyeberangan ke Pulau Maringki, pulau mungil terdekat.
Togong dalam bahasa Banggai berarti Pulau. Togong Sagu yang mungil mendapatkan namanya dari pepohonan sagu yang tersisa di tengah pulaunya yang terpencil. Berada di sini seperti di negeri antah berantah. Jauh dari daratan utama. Sejauh mata memandang hanya laut lepas. Laut Banda.
Andai tak ada terumbu karang luas seperti atol dan hamparan padang lamun juga bakau membentengi pulau yang memanjang lancip ke Selatan ini, Togong Sagu mungkin sudah terus terkikis gelombang ganas. Terumbu karang membuat ombak pecah beberapa kilometer dari garis pantai, sehingga perairan yang tenang di dalamnya bisa dimanfaatkan sebagai area budidaya rumput laut dan keramba ikan.
Tak ada kapal penumpang regular yang melayani rute ini dari manapun. Penduduknya baru bisa keluar pulau sekali sebulan ke Pulau Banggai yang jauh untuk membeli bahan bakar, beras, dan berbelanja isi kios dengan satu kapal bertonase delapan ton milik seorang pengusaha di desa. Jadwalnya tidak pernah pasti dengan waktu tempuh yang lebih dari setengah hari jika musim teduh. Sesekali mereka ke kota Luwuk, Kabupaten Banggai di daratan Sulawesi untuk menjual rumput laut atau gurita jika harganya jatuh di Banggai Laut. “Biarpun kencang ombak, kalau bahan bakar habis dan makanan menipis, atau isi kios sudah sedikit, kita tetap harus keluar pulau,” kata Ishak yang diamini para warga.
Sebuah proyek buku fotografi kelistrikan dari fotografer senior Arbain Rambey di Jakarta membuat saya mengambil cuti untuk pekerjaan sampingan yang mengantar ke daratan paling selatan Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah ini. Tujuan saya, memotret kehidupan warga setelah listrik masuk ke satu-satunya perkampungan di ini. Dan mengantar pada wilayah kabupaten yang 94,37 persen adalah lautan dengan 316 pulau ini dengan Sebagian besar tidak berpenghuni.
Dari kota Banggai, ibukota Banggai Laut di Pulau Banggai, jaraknya 80-an kilometer ke Selatan. Dari garis lintang, pulau ini sudah sejajar dengan daratan Kabupaten Morowali Utara di Teluk Tolo. Lebih dari 160 kilometer dari Kolonodale, ibukota Morowali Utara. Lebih ke Selatan ketiak Timur Semenanjung Sulawesi di Teluk Tomori. Togong Sagu ada di pertengahan antara daratan Sulawesi dan Pulau Taliabo, Provinsi Maluku Utara. Sedikit lebih dekat ke daratan Maluku Utara dibanding daratan Sulawesi. Kalau cuaca bagus, kata warga, di arah Barat Laut kita bisa lihat samar Gunung Tokala 2584 MDPL di Morowali Utara.
Saya berlayar di musim Angin Tenggara yang gelombangnya cukup mendingan mengayun. Dengan speedboat sewaan bermesin tunggal 90 PK, perjalanan normal dua jam menjadi empat jam menyesuaikan gelombang. Dengan satu jam diantaranya terpaksa mematikan mesin untuk mengisi bahan bakar cadangan, dan kru perlu mendorong dengan galah agar tidak kandas kala terjebak di tengah terumbu karang dangkal, dan harus berputar jauh mengikuti alur masuk pulau berpagar terumbu luas yang dipadati pelampung-pelampung budidaya rumput laut.
Sayang, hasil budidaya rumput laut yang dipanen setiap satu setengah bulan, sekarang harganya tidak sebaik tahun 2018. Di masa itu, nelayan rumput laut bisa menikmati harga Rp 23 ribu per kilogram setiap menjual komoditi ini dengan kapal ke kota Luwuk dengan sekali pemuatan rata-rata membawa 20 ton rumput laut kering. Sekarang harganya jatuh di angka Rp 8 ribu per kilogram seiring turunnya hasil panen yang sekali angkut rata-rata 6 ton saja. “Hasilnya juga lagi tidak bagus karena penyakit,” kata warga.
Sektor perikanan tangkap juga sedang lesu. Biasanya mereka bisa menjual ikan kerapu sebagai ikan andalan mereka hingga Rp 25 ribu per kilogram, kini harganya tinggal Rp 15 ribu per kilogram. Begitu juga ikan kakatua yang turun harganya jadi Rp 10 ribu per kilogram. Sedangkan gurita kualitas terbaik kini tinggal Rp 8 ribu hingga 18 ribu per kilogram. Di saat yang sama nelayan Togong Sagu terkendala ketersediaan es balok untuk membekukan ikan yang hanya bisa bertahan hingga lima hari.
Listrik desa sudah tiga tahun menerangi desa di Kecamatan Bangkurung ini. Gudang mesinnya tepat di bawah tebing karang yang dirimbuni pepohonan di ujung kampung. Hanya beberapa langkah dari laut yang dipagari pepohonan bakau.
Daya listriknya 30 KVA hanya mampu menerangi 86 rumah tangga dari jam enam sore sampai jam 11 malam. Padahal ada 282 Kepala Keluarga dengan 1.046 jiwa mendiami Togong Sagu.
Agar listrik dari Pemerintah itu tetap menerangi desa, warga Togong Sagu harus bayar iuran bulanan untuk mengongkosi konsumsi tiga drum solar setiap minggu. Setiap biji lampu ditarik iuran Rp 20 ribu. Tapi cukup bayar Rp 50 ribu untuk setiap tiga biji lampu. Warga yang punya televisi mesti bayar Rp 50 ribu. Beberapa warga yang punya mesin cuci harus menambah Rp 30 ribu. Sedangkan setiap kulkas diwajibkan bayar Rp 70 ribu.
Karena tak semua warga memiliki kemewahan itu, maka pemandangan nontong bareng televisi di ruang tamu masih umum ditemui. Memotret nonton bareng yang menghidupkan malam di beberapa rumah warga itu membuat saya bersyukur. Itu seperti melihat masa kanak-kanak di awal era 1990-an. Semua begitu serius hingga mondar-mandir saya mencari angle kamera seolah tidak ada. Semua mata ke satu titik saja.
Malam yang tenang di Togong Sagu memang seperti kembali lampau dengan mesin waktu. Masa kecil yang penuh kompetisi untuk mendapatkan posisi di depan televisi tetangga dengan resiko sendal bisa tertukar atau hilang saat pulang, atau dimarahi ibu-ibu dan para nenek yang merasa terhalangi. Sementara anak kecil yang rewel bisa saja tiba-tiba mengamuk minta pulang tidur saat ibunya sedang menunggu iklan selesai di sinetron berseri. Jangan tanya bau keringat dan garukan tangan karena rasa gerah atau nyamuk yang hinggap di tengkuk. Itu sudah campur aduk. Risih? Tidak. Justru di situ kita bisa merasakan manisnya kehidupan.
Berapa banyak orang masih mengeluhkan padamnya listrik di kota dan mengutuk gulita saat ini? Sementara di pulau yang teronggok sepi di Laut Banda yang sunyi ini, bisa mendapatkan posisi bagus di depan televisi tetangga tanpa gangguan panggilan pulang dari rumah, bisa dinikmati sebagai kebahagiaan yang hakiki. Menemukan ini lagi, rasanya seperti kegembiraan melihat motor bebek tua masih mendominasi perkotaan Vietnam masa kini, atau mobil-mobil tua bangka era 1980-an masih umum di Tehran, Iran. Ini perlu dinikmati. Karena kondisi ini semakin jarang dijumpai di negeri ini.
Di tengah kampung yang sesak, tukang kayu memanfaatkan malam yang berlistrik dengan meraung-raungkan bor dan sekap listrik yang berisik setelah waktu shalat Isya. Sementara kulkas perlu di isi untuk tambahan mendinginkan es bagi ikan, gurita, dan lobster tangkapan agar tidak busuk sebelum dijual. Beberapa pria di teras dekat perempatan mengatur posisi main domino dengan gelak tawa bahagia sebelum listrik padam lagi. Sedangkan sekumpulan remaja bercengkerama di teras rumah. Yang lain, yang lebih dewasa, menikmati gulita dengan gitar dan nyanyian tembang kenangan di dermaga satu-satunya.
Sementara itu, semerbak harum aroma daging penyu berempah kuat terbawa angin. Menciumnya sudah jaminan itu enak meski dimasak di kuali-kuali besar yang pantatnya menghitam oleh tungku kayu bakar. Ibu-ibu ini, kelewat sederhana untuk berjibaku dengan racikan masakan yang harusnya di level dapur chef restoran mahal. Mungkin jika penyu tidak dilarang sebagai santapan. Di Togong Sagu, daging penyu sisik adalah daging termewah yang disajikan hanya untuk tamu agung atau jika ada pesta hajatan. Mereka memang tengah bersiap dengan antusias. Ada tamu, mungkin pejabat yang datang besoknya saat saya harus pulang. Mereka harus dijamu dengan persembahan terbaik.
Batin saya miris sebentar saja, karena status penyu yang dilindungi. Tapi tidak mengurangi kekaguman terhadap kehidupan sederhana dan teramat ramah di sini. Apa adanya. Orang dari kota mungkin akan mengutuk ini, tapi saya memilih damai menerima kenyataan. Begitulah kehidupan ini berjalan. Tidak semua berjalan seideal yang kita mau, sebab semua orang memiliki standar nilai yang berbeda yang perlu dihormati.
Tahun 1970-an, tutur Kepala Desa, status perkampungan ini menjadi desa dari sebatas dusun dari Desa Taduno di Pulau Bangkurung yang jauh di Barat Laut. Penduduk mula-mulanya suku Banggai dari wilayah Selatan Pulau Peling, di Kabupaten Banggai Kepulauan. Lalu seiring waktu penduduk bertambah dari berbagai suku. Warga Togong Sagu kini campuran orang Banggai sebagai yang terbanyak, Bajo, Bugis, Menui Kepulauan, bahkan dua diantaranya orang Jawa.
Seorang ibu muda bahkan sengaja pindah dari Jawa Tengah dan memilih menetap di sepinya Laut Banda ini karena cinta. Belasan tahun lalu ia memutuskan sendirian pergi menemui seorang lelaki Togong Sagu yang hanya dikenalnya lewat telepon nyasar, meski tak pernah tahu bentuk rupanya. Lelaki itu sedang tinggal di ibukota Banggai Laut melanjutkan Pendidikan tahap akhirnya yang menjelang rampung. Mereka menikah lantas memilih pindah di Togong Sagu. Dan kini jadi bapak dari tiga anaknya yang bersekolah di SD-SMP Satu Atap Togong Sagu. Sejak itu, tak sekalipun dia kembali.
“Lagian jauh,” katanya. Dia betah dan tentram di sini. Bahkan mulai lupa berbahasa Jawa dan jadi paham bahasa Banggai. Jika rindu, ia mengajak anak-anaknya memanjat bukit terjal di sisi Utara pulau untuk menjangkau jaringan seluler 4G agar mereka bisa bicara bertatap muka dengan nenek yang tak pernah dijumpai nun jauh di Jawa. Ibu yang saya lupa namanya ini, sekali lagi membuktikan bahwa ganasnya Laut Banda dan hidup di tempat antah-berantah, bukan halangan untuk menjadi tangguh karena ditopang cinta.
Saya akan selalu merindukan mereka. Anak-anak yang selalu mengikut kemana pergi dengan ceria karena penasaran dengan tentengan kamera dan drone yang diterbangkan untuk gambar udara, juga ibu-ibu dan para lelaki tangguh yang ramah dan kompak menerima seolah telah kenal lama, dan pulaunya yang indah kaya gurita, lobster, teripang, dan ikan kerapu dan kakatua. Dan teristimewa, saya membawa pulang pengalaman yang kaya dan pemberian satu pot bunga dari teras rumah Kepala Desa yang sampai sekarang tak dikenali nama bunganya, bahkan oleh aplikasi canggih pendeteksi nama bunga. Saya menyebutnya saja, bunga dari Laut Banda. ***