Daerah

“Wakil Rakyat” Iwan Fals Menggema saat Demo Menolak Omnibus Law

PALU, LUWUK POST–Lagu “Wakil Rakyat”  Iwan Fals mengendurkan urat tegang mahasiswa, sore hari Kamis (8/10) itu. Setelah sebelumnya, di siang hari harus menahan pedihnya gas air mata dan semburan water canon dari kepolisian.

Sambil mendengarkan lagu itu, mahasiswa duduk di depan Gedung DPRD Sulteng, di bawah penjagaan ketat aparat kepolisian. 15 mahasiswa dipersilakan memasuki gedung DPRD, untuk menyampaikan penolakan UU Omnibus Law atau Cipta Lapangan Kerja (Cilaka).

Sementara itu, mahasiswa yang berada di luar Gedung DPRD Sulteng tampak tertib. Lagu yang diputar dari pengeras suara mobil kepolisian itu, menggema sampai ke sudut-sudut Gedung DPRD Sulteng.

Sambil menghayati lagu yang liriknya menyinggung wakil rakyat. “Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tahu nyanyian lagu setuju” dilatarbelakangi lirik lagu itu, para mahasiswa mengangkat tangan menuntut “kelicikan” pemerintah dan DPR yang mengesahkan RUU Cilaka menjadi undang-undang.

Selepas zuhur, suasana kembali chaos. Bentrokan terjadi antara mahasiswa dengan kepolisian. Beberapa kali terdengar letusan gas air mata, yang memaksa mahasiswa mundur.

Tapi pertahanan mahasiswa tidak kendor. Angin mengarahkan gas air mata ke arah kepolisian dan wartawan yang berlindung. Mahasiswa makin merangsek maju, melempari mobil polisi dan personil polisi dengan batu.

Polisi juga mengejar oknum yang diduga provokator di balik unjuk rasa itu. Bahkan polisi mengejar mahasiswa yang bersembunyi di salah satu warung kopi di seputaran jalan Samratulangi, dan mementungi mereka.

Dari keterangan kepolisian,  Polda Sulteng telah mengamankan sebanyak 29 oknum yang terdiri dari 28 mahasiswa dan 1 orang masyarakat umum.

26 orang diberikan pertolongan di Rumah Sakit Bhayangkara, baik yang terkena lemparan atau gas air mata. 26 orang yang luka itu, terdiri dari 10 personel Polri, 11 mahasiswa dan 5 masyarakat umum. Di lapangan ditemukan satu unit motor Kawasaki kepolisian hangus dibakar massa.

Mahasiswa dan pihak kepolisian, duduk bersama merundingkan langkah yang akan dilakukan setelah bentrokan pada peristiwa unjuk rasa menolak UU Omnibus Law di Kota Palu, Kamis (10/8). [Foto Barnabas Loinang/ Luwuk Post]
Mahasiswa dan pihak kepolisian, duduk bersama merundingkan langkah yang akan dilakukan setelah bentrokan pada peristiwa unjuk rasa menolak UU Omnibus Law di Kota Palu, Kamis (10/8). [Foto Barnabas Loinang/ Luwuk Post]
26 Terluka, 1 Motor Dibakar

Polda Sulawesi Tengah (Sulteng) mengawal dan mengamankan kegiatan penyampaian aspirasi mahasiswa, terkait penolakan UU Omnibus Law di Jalan Samratulangi Palu, Kamis (8/10).

Massa aksi yang semula menyampaikan aspirasinya secara damai, telah disusupi oleh oknum yang memprovokasi. Aksi berakhir dengan kericuhan, petugas kepolisian yang berjaga mulai dihujani dengan lemparan batu dan petasan.

Kabid Humas Polda Sulteng, Kombes Pol Didik Supranoto, mengatakan, petugas pengendali massa yang berupaya membubarkan massa aksi dengan imbauan untuk tidak anarkis, akhirnya meningkat dengan melakukan penyemprotan air menggunakan mobil water canon, dan menembakkan gas air mata.

“Penyampaian pendapat di muka umum diatur oleh undang-undang, tetapi harus dilakukan secara damai. Massa yang sebagian besar menempuh jenjang pendidikan tinggi sangat disayangkan mudah terprovokasi dan berbuat anarkis,” kata Didik.

Setidaknya Polda Sulteng telah mengamankan sebanyak 29 oknum, yang terdiri dari 28 mahasiswa dan 1 orang masyarakat umum. 26 orang diberikan pertolongan di Rumah sakit Bhayangkara, baik yang terkena lemparan atau gas air mata. 26 orang tersebut, terdiri dari 10 personel Polri, 11 mahasiswa, dan 5 masyarakat umum.

Di lapangan juga ditemukan motor kepolisian hangus dibakar massa. “Mereka yang diamankan saat ini masih dalam pemeriksaan penyidik Ditreskrimum Polda Sulteng, untuk mengetahui peran masing-masing. Perkembangan akan disampaikan kembali,” kata Didik.

Sementara itu, bentrokan terjadi lagi sekitar pukul 16.00 Wita, di depan gedung DPRD Sulteng. Dikabarkan mahasiswa dan wartawan mengalami luka-luka akibat dipentung polisi.

Dari laporan yang diterima Luwuk Post, sedikitnya dua wartawan, salah satunya perempuan terkena pentungan polisi. Kasus pemukulan ke wartawan, sudah dilapor ke Propam Polda Sulteng.

Keadaan kembali chaos, karena mahasiswa di dalam gedung gagal mediasi dengan anggota DPRD Sulteng. Massa yang di luar gedung, mulai tidak sabar, dan begitu juga aparat keamanan yang memakai pelindung diri, mulai menggebuk mahasiswa yang berbuat onar.

Beberapa saat kemudian, Wakil ketua DPRD Sulteng, Alimuddin Paada, menemui mahasiswa yang berada di luar gedung.

Kepala Ombudsman Sulteng, Sofyan Farid Lembah, mengeluarkan pernyataannya bahwa menyesalkan masih adanya tindak kekerasan dalam penanganan demonstrasi mahasiswa yang digelar.

Ombudsman menyarankan kedua belah pihak, baik pihak kepolisian maupun mahasiswa untuk cooling down. Melakukan evaluasi atas apa yang terjadi hari ini, dan tidak saling membenarkan diri.

Data sementara, ada 8 jatuh korban luka di pihak kepolisian, dan lebih 11 mahasiswa yang harus dirawat. Saat ini data terus bertambah, bahkan dari advokay Agus Salim,SH yang turun memberi bantuan hukum, mencatat bahwa jauh lebih banyak jatuh korban di pihak mahasiswa termasuk mahasiswi.

“Belum tercatat, paling tidak ada dua pegiat media cetak yang mendapat tindakan kekerasan dari aparat. Malam ini semua sedang diidentifikasi, dan Ombudsman membuka laporan pengaduan masyarakat. Dari Tolitoli telah ada laporan dua pengunjuk rasa ditahan, dan bahkan beredar video penangkapan dengan dugaan kekerasan,” kata Sofyan.

Ombudsman segera meminta pihak Irwasda Polda dan Propam, untuk lakukan investigasi penanganan demo yang berakhir ricuh ini.

Amat disayangkan, dengan demonstrasi  pasca-Pilpres saat pihak kepolisian bersikap sangat humanis menghadapi mahasiswa pendemo, sehingga berakhir dengan aman dan tertib.

Lain yang terjadi  pada hari ini, pada aksi isu penolakan UU Cipta Lapangan Kerja, justru sikap humanis itu tergerus dengan dugaan tindak kekerasan aparat yang memalukan.

Ombudsman melihat ada yang diduga abai menjalankan protap penanganan demo. Pihak Irwasda dan Propam harus menyelidiki soal ini. Ombudsman juga berharap Komnas Ham ikut terlibat.

Ombudsman juga melihat ada hal yang tidak biasa. “Kemana para anggota DPRD Provinsi? Bukankah para pengunjuk rasa ingin menyampaikan aspirasi kepada Anda? Mengapa mereka dihalangi untuk bertemu? Apakah ada permintaan khusus kepada aparat keamanan, bahwa Anda tidak berkenan menerima massa pendemo? Pertanyaan ini penting, karena di situlah pangkal terjadinya chaos antara mahasiswa dengan aparat keamanan. Saluran aspirasi Mahasiswa tersumbat,” jelas Sofyan. (bas)