Opini

Yang Hilang

 

Alisan
Alisan

MATAHARI yang tenggelam di ufuk Barat samar terlihat. Nelayan yang melintas pulang setelah membuang saung seharian, juga tak tampak lagi. Bangunan tiga lantai dan rumah tuan mengaburkan pemandangan dari teras Keraton. Konon, pemandangan ke laut luas itu adalah media pengirim pesan kala asap sengaja dibuat membumbung. Sinyal bagi mereka diseberang bahwa ada pergantian tahta.

Zaman memang terus berubah. Asap digantikan perangkat canggih. Bilah bambu yang dihimpit beton digantikan besi. Beton bersisian besi kian lazim. Karena itu, rumah tuan dan rumah pertemuan didesain bertingkat.

Kelak, bangunan tua yang mengundang romantisme, tersisa kenangan. Sebagai dongeng yang menemani anak-anak selepas siang. Hiruk pikuk mengejar modernitas kian mengaburkan peradaban.

Di Negeri antah-berantah itu, bangunan megah yang mengandung beton dan besi  “terhampar” dari kota sampai pelosok desa. Bahkan, rumah sakit lama yang menyembuhkan banyak luka dan lebam dirobohkan. Banguan berlantai II dengan arsitektur modern dengan angkuh berdiri.

Jauh hari, sebuah gudang uzur tak terurus hingga api melahapnya di siang bolong. Setelah peristiwa itu,  rumah-rumah berarsitektur lampau kian tak terawat. Kusam. Rumah dinas raja yang dahulu sakral, malah disulap menjadi kantor dinas.

Di kota antah-berantah itu pula, sebuah rumah adat dipugar dengan arsitektur setengah beton. Seorang kawan saban hari bertanya: Apakah itu rumah adat? Tersenyum tumpul, kemudian menjawab mungkin.

Di pusat kota antah-berantah itu juga, air kian sengsara mencari jalan kembali ke tanah. Dihimpit batu-bata dari beton. Di bagian lain, ruang-ruang terbuka dibangun dengan sedikit tanaman, tapi penduduk didoktrin agar menyebut itu kawasan hijau. Kesuciannya tak boleh diganggu bangunan rakyat.

Jauh ke desa-desa, ruang pertemuan meniru kota. Dibangun dengan konstruksi beton dan besi. Meski semua sadar, daerah antah-berantah ini tak kebal dengan gempa. Buktinya, dua dekade silam digoyang guncangan dan meluluhlantakan bangunan di atasnya. Lindu kala itu, hanya menyisakan rumah-rumah tua zaman dahulu kala yang telah menjadi saksi bisu peradaban.

Tak puas, penangkal ombak di daerah antah-berantah itu, dibuat dari semen padat. Bermodel tahu, berkualitas tempe. Melestarikan bakau, menanam terumbu karang, mungkin dianggap kuno. Peran-peran seperti itu, justru banyak dilakoni pemuda-pemuda desa.

Saban hari, sekelompok pemuda di sana menanam ribuan bibit bakau. Diam-diam kapal pengangkut material menimbun bakau di seberang kampung. Dari material itu, memanjanglah jalan desa menjadi dua lajur, yang mengakibatkan beberapa bagian rumah masyarakat dilunakan eksavator.

Banyak yang menolak, ada juga yang pasrah tempat melahirkan cucu-cicit dikoyak-koyak. Tak ada yang bisa menentang perlakuan-perlakuan itu, hingga akhirnya menjadi maklum. Seperti halnya memaklumi rumah-rumah tua di kota antah-berantah itu, yang lebur dimakan usia dan rimbunan bakau yang ditimbun. Kelak, menyisakan bangunan beton berpadu besi yang menunggu waktu digoyang lindu. (*)