Guru Desi dan Pengabdian di Pelosok
Oleh: Alisan
(Redaktur Pelaksana Harian Luwuk Post)
Judul : Guru Aini
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun Terbit : Februari 2020
Halaman : 336
“Lihatlah wajah kecerdasan Indonesia dalam kemiskinan! Lihatlah anak cerdas yang terbuang di pojok pasar!”
“Mereka membentuk grup vokal Trio Aljabaria, nama yang sengaja mereka pilih sebagai gambaran betapa tak becusnya mereka dalam aljabar.”
Dua narasi ituada dalam novel Guru Aini. Novel yang ditulis Andrea Hirata setelah dua tahun melakukan riset. Ada keprihatinan, juga lawak. Novel ini membahas mata pelajaran bergenre sains, sehingga sangat berbeda dari sebelumnya.
Namun, tetap membahas aktivitas dibangku pendidikan. Guru Aini sama halnya dengan Laskar Pelangi atau Orang-orang biasa. Ditulis dengan deskripsi yang kuat, membawa saya kembali ke sekolah menulis di papan tulis mengerjakan tugas, ketakutan pada pelajaran tertentu, hingga tembok yang memisahkan antara cita-cita dan akses.
Menurut saya, movel Guru Aini menarik bagi tenaga pendidik yang hendak mengabdi di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3 T). Atau mereka yang hanya ingin tes CPNS di daerah 3 T, lalu tak sabar pindah di daerah maju beberapa tahun kemudian. Keuletan Guru Desi di kampung antah-berantah cukup membuka mata bahwa di pelosok ada saja caraberdamai dengan kesepian.
Sebab, Guru Desi yang hidup enak di kotanya, penuh keramaian, segala kebutuhan mudah didapatkan, ditambah berkecukupan, tetapi bisa bertahan. Mempertahankan idealisme mengabdi di daerah terpencil. Meski menuju ke sana atau pulang ke rumah harus naik kapal laut hingga mabuk, lalu naik angkutan darat yang bikin sakit kepala.
Guru Desi konsisteningin menghasilkan pelajar yang hebat menerjemahkan rumus-rumus matematika. Meski selama itu pula rasa jenuh hadir ketika menemui murid yang sukar memahami aljabar, lalu kembali bersemangat setelah mengajari Aini yang bercita-cita jadi dokter.
Dalam perjalanan Guru Desi mencari murid yang pandai matematika, Andrea menulis dengan menyelipkan jenaka. Nuraini binti Syafrudin atau Aini, menderita psikosomatis.Secara aneh mengalami sakit perut saat pelajaran matematikadan paling bebal.
Meski begitu, di antara lembaran buku juga terselip narasiyang serius sekaligus memberi motivasi.Karena itu, saya urung mengakhiri membaca, duduk berjam-jam. Satu buku, dua suasana.
Andrea memang pandai memain-mainkan pembaca. Di lembar lain ada gelak tawa, ada lain terbata-bata membaca narasi yang menyedihkan. Membaca novel Andrea, mengingatkan saya tentang pesan salah satu senior jurnalis, bahwa tulissn harus bisa memain-mainkan perasaan pembaca. Membawa masuk pembaca di ruang lain, sehinggadeskripsi harus kuat. Tak heran, Dahlan Iskan menganjurkan wartawan-wartawan Luwuk Post agar rajin membaca novel.
Kondisi sosial seperti saat ini, novel Andrea Hirata bagi saya bukan hanya belajar menjelaskan dengan detail sebuah situasi. Lebih dari itu, menjadi “obat” agar tak terlalu risau menghadapi hari-hari ini yang kadang bikin menggerutu. Setidaknya, novel Andrea tak berisi janji-janji politik yang menghina akal sehat. (*)