Oleh : Ama Achmad
Penulis dan Pegiat Literasi
Tulisan ini dimulai dengan ucapan selamat kepada semua manusia yang bertahan di tengah pandemi, orang-orang yang tetap waras dan tidak kehilangan empati. Dari beberapa nawala yang saya ikuti, setiap harinya saya menerima satu nawala yang intens membuka kabar Covid-19 dari seluruh dunia. Informasi itu dengan telaten dibagikan saban hari Senin, saat pembaca cukup santai di pagi hari, karena dua hari di akhir pekan sudah melewati fase rebahan yang juga cukup intens.
Nawala awal pekan itu selalu dibuka dengan ceria. Kalimatnya seperti ini: Congrats on surviving what’s probably the most intense week of the year. Now you can chill a little bit. Have some coffee, read the news (and us!) and let’s wish the world would only get better from now on. First things first, your Covid-19 briefing. Lets start… Kesan ringan dan ceria itu cukup berhasil meredam perasaan waswas atas berita pandemi yang rutin dikirim di awal pekan. Saya membayangkan penulisnya adalah pribadi yang ceria, ataukah juga ia hanya mencoba ceria agar tidak memantik rasa khawatir berlebih dari pembaca. Apa pun itu, saya pikir ini sebuah usaha yang baik dari sebuah kanal media untuk memberi dan meluruskan informasi.
Dan apakah itu semua mampu meredam dan meluruskan informasi yang telanjur bengkok? Saya tertawa saat menulis ini, dalam hati berkata “te samua manusia baca koran, te samua baca informasi lurus di media.” Kembali lagi, ini soal kebiasaan baca. Balik lagi kita pada apa yang tak henti-hentinya saya dengungkan, yakni tentang pentingnya literasi dasar.
Manusia sesungguhnya bukan baru hari ini menghadapi wabah. Selama usia dunia, ada beberapa kali pandemi besar tercatat. Saya membaca salah satu tulisan, tentang pandemi yang menelan korban 75 juta nyawa pada 1347-1351. Black Death atau maut hitam menjadi pandemi dengan jumlah korban terbesar. Dari info grafis yang dikeluarkan visualcapitalist.com, setidaknya bumi dengan umat manusia di dalamnya sudah mengalami 17 kali teror pandemi (yang bisa dicatat). Perbedaannya, pada masa Black Death, tidak ada hoaks yang kencang seperti hari ini.
***
Sudah sekitar dua minggu lebih dari hari ini, saya terpikir tentang tren peningkatan kasus positif Covid-19 di Luwuk. Dulu keberadaan virus ini jauh dari sekitar kita, atau dalam artian para pasien terkonfirmasi positif dan pasien meninggal adalah nama-nama yang tak cukup kita kenali dalam konteks hubungan bermasyarakat. Namun, hal itu berubah. Nama-nama yang “pergi”, yang diisolasi di ICU RSU Luwuk, dan yang berstatus OTG, adalah orang-orang yang kita kenali—yang namanya cukup akrab di telinga. Saya ingat bagaimana kabar kematian selalu tiba di ponsel saya, selang beberapa menit peristiwa itu terjadi. Kawan-kawan dokter yang kebetulan berteman di aplikasi perpesanan instan yang membagikan info itu. Tidak hanya info tentang duka, tetapi juga info lainnya. Paling banyak adalah ungkapan emosi yang mungkin dipicu oleh kelelahan, dan juga respons dari keluarga pasien terkonfirmasi.
Luwuk Post menjadi salah satu rujukan resmi, untuk mengetahui kabar terbaru soal perkembangan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Kabupaten Banggai. Selain media resmi yang kemudian menjadi panduan, saya juga mendapat informasi tambahan di media sosial seperti facebook. Dari sana ragam informasi masuk, dan cukup memusingkan kepala. Saya membaca keluhan tenaga kesehatan, ucapan duka cita, dukungan pada semua nakes, kabar hoaks yang berputar dalam asumsi, dan ungkapan kemarahan orang-orang.
Saya paham sekali, bahwa akan selalu ada pertentangan terhadap sebuah fenomena. Termasuk yang terjadi di masa pandemi ini, tipe manusia yang memercayai ilmu pengetahuan dari hasil membaca banyak artikel terkait Covid-19, dan tipe yang termakan teori konspirasi yang di dalamnya memuat informasi tidak benar atau hoaks. Di antara dua itu, saya menyisipkan satu lagi tipe yakni, yang percaya keberadaan virus ini, tetapi tidak mau menaati protokol kesehatan. Anda tipe yang mana?
Pandemi membelah manusia menjadi yang percaya dan yang tidak percaya. Saya cukup paham dengan itu, toh kita tak bisa memaksakan keyakinan kita pada pihak yang berbeda pendapat. Sebagai rujukan (saya mengambilnya dari nawala Senin, 23 November 2020) per kemarin total kasus positif Covid-19 di dunia sudah mencapai 58.254.552 kasus, dan 1.382.464 kasus meninggal. Angka ini berdasar data dari Center for System Science and Enginering (CSSE) at John Hopkins University di USA. Saat saya menulis catatan ini, data itu telah berubah. Per hari ini (26 November 2020, pukul 00.46 wita), angka kasus positif adalah 59.961.235, dengan jumlah total kematian 1.412.949. Data ini dihimpun dari seluruh dunia untuk memonitor perkembangan kasus di tiap negara.
Angka-angka dalam data itu, bukan sekadar jumlah. Ia menggantikan nama-nama, termasuk nama-nama orang yang kita kenali. Juga sumber tangisan keluarga-keluarga yang tak sempat “mengantar” anggota keluarganya ke peristirahatan terakhir—sebuah duka tanpa ritual tabur bunga.
Dalam lintasan waktu yang sama, seluruh manusia di mana pun ia berada, berapa pun usia dan jenis kelaminnya, sedang dalam lingkaran pertanyaan yang sama. “Kapan ini berakhir?” Beberapa waktu lalu, pertanyaan itu tidak sepenuhnya terjawab, meski ada perkembangan-perkembangan. Kali ini ungkapan klise “selalu ada terang di dalam gelap” perlahan terbukti. Kabar baiknya, minggu lalu dua perusahaan farmasi, yakni Pfizer dan Moderna, sama-sama mengklaim vaksin buatan mereka efektif 90%. Serta sudah didaftarkan ke FDA atau Food and Drug Administration di Amerika Serikat.
Catatan ini mengajak semua kita untuk tidak berhenti berharap dan terus menebalkan empati. Boleh saja kita berseberangan pendapat, tetapi nama-nama yang ada dalam daftar orang meninggal karena Covid-19 adalah beban berat yang harus ditanggung keluarga. Ada kesedihan dan duka yang tidak serta-merta terhapus dalam waktu singkat.
Tugas saya adalah, membagi apa yang saya ketahui lewat tulisan ini. Bahwa perlunya mengecek kembali kabar-kabar yang singgah di telinga. Pelajari sumbernya, dan ketahui motifnya. Satu hal yang paling ramai di media sosial, adalah gelombang asumsi tentang tenaga medis atau rumah sakit yang dibayar setiap kali ada pasien terkonfirmasi positif. Hal itu sama sekali tidak benar. Saya pikir, pun para dokter dan perawat sudah terlalu lelah untuk memberi tanggapan. Dedikasi para tenaga medis sudah seharusnya mendapat dukungan penuh dari kita semua. Mereka ada di lini terdepan, berjibaku dengan virus seribu wajah ini. Saya sebagai yang berada jauh dari “medan perang” itu, hanya mampu mengucapkan terima kasih dan memberi dukungan penuh untuk mereka.
Tulisan ini ditutup dengan puisi kecil dari Theoresia Rumthe. “Yang tak dapat dibunuh oleh wabah adalah kebaikan kita pada orang lain.” Dari hati terdalam, salam hormat saya untuk semua tenaga kesehatan. (*)