Oleh: Alisan
(Redaktur Pelaksana Harian Luwuk Post)
FARID hanya hidup berdua bersama sang nenek. Sejak kecil, kekurangan sana-sini telah menjadi maklum, tetapi ia tidak berhenti melafalkan pelajaran-pelajaran dari bangku sekolah yang sepelemparan batu dari rumahnya.
Hari-hari, hidangan pangan seadanya seperti rutinitas di bangku sekolah. Farid tumbuh dengan kemelaratan dan senyum kecut, sesekali tampak murung dengan kepala menunduk.
Sejak kecil, ditinggalkan nenek ke kebun untuk menggarap tanah orang lain sudah biasa. Bahkan, tanpa ada makanan di lemari satu-satunya, yang juga berisi beberapa pakaian. Pakaian lusuh tapi menjadi kesayangan Farid ketika hari besar datang.
Usianya kini mulai merangkak remaja tanggung. Namun, saban kemarau tua ia menjajakan kue tetangga. Matahari yang menembus sela kulit, barangkali lebih menyakitan dari hidupnya selama ini sejak ditinggal ibu untuk menikah lagi.
Kala pesta politikus di panggung menuju kekuasaan, Farid dan neneknya tak lebih dari sekadar komoditas. Ditarik ke sana-sini memilih sosok ini atau itu. Setelah vote, rumah mereka yang banyak dibebat kayu bekas, tak terdengar lagi salam. Sang nenek maklum, kekuasaan memang membuat politikus sibuk mengurus diri sendiri berikut bagi-bagi “daging.”
Kenyataan Farid dan nenek yang tak pernah menerima kejujuran setelah vote, telah ditulis FranzKafka dalam catatan hariannya di Berlin, Jerman tahun 1910. Mundur satu abad lebih dari pagi ini.“Terbentang dusta di dalamnya, sedangkan kebenaran tidak tampak terlihat di mana.”
Janji terbentang ketika pertarungan antara politikus, sedangkan realisasi janji tak tampak kepada Farid dan neneknya. Tapi, kata dan sifat maklum telanjur berkembang luas yang memaafkan politikus-politikus yang pernah datang mengetuk pintu. Naas lupa mengetuk nuraninya sendiri.
Dalam dunia yang lebih kecil, telah dituliskan Putu Wijaya dalam novel berjudul pabrik. Janji pemilik usaha kepada buruh-buruh perusahaan yang tak tunai hingga akhir hayat. “Akhir tahun, tuan akan memberikan ‘hadiah’ dua kali lipat dari gaji.”
Kian tahun, janji terus membumbung tinggi. Pembagian saham, kenaikan upah, terakhir hadiah akhir tahun. Namun, tak satupunjadi kenyataan. Bos pabrik kian rentah, putranya lebih tertarik menjadi penyair terkemuka.
Hingga akhirnya, kekesalan telah memuncak, pabrik dibakar. Tuan tua hanya bisa terbaring di bangsal sebelum malaikat datang menjemput. Tuan muda, bukan ahli manajemen, kecuali teknik menulis yang tren pada masanya.
Pabrik itu dibakar pekerjanya sendiri. Kekuasaan tuan akhirnya lenyap, seiring dengan matinya kawasan pelacuran sekitar pabrik. Kekuasaan tak mampu meredam emosi mereka yang terus diuber janji. Janji tinggal janji.
Farid, nenek, dan pekerja pabrik akhirnya menerima kenyataan, kekuasaan membutakan segala hal kebaikan dan menambah nafsu mengendalikan kertas sepotong yang kita sama-sama legalkan sebagai alat pembayaran. Orang-orang biasa berjalan gontai melewati hari-hari tanpa Negara.
“Bagi siapapun yang menampakan diri sebagai warga negara penuh, mengarungi lautan dalam sebuah kapal, dengan buih-buih di depannya dan kelemahan di belakangnya.” Begitu barangkali FranzKafka menuliskan masa kini dari jauh dan lampau.
Kafka yang dari Praha, Republik Ceko lalu hijrah ke Berlin di pemukiman padat penduduk, hidup dalam kegelisahan dan kesepian, sepertinya menerawang jauh ke Hindia-Belanda, jauh sebelum perebutan kekuasaan ada di Nusantara. (Alisan)