DI's Way

SWF Nusantara

Oleh:Dahlan Iskan

DISWAY

PERISTIWA penting selalu terpinggirkan oleh kejadian yang menarik. Itu hukum alam komunikasi. Orang lebih senang ikut hiruk-pikuk UU Omnibus Law –dari hiruk-pikuknya.

Lalu ada lagi hiruk pikuk susulan: kepulangan Habib Rizieq. Peristiwa ekonomi tersingkir dari wacana publik. Di negara yang kurang maju, masalah politik selalu lebih diperhatikan dari persoalan membangun ekonomi.

Ketika heboh-heboh dua hal itu mulai reda saya pun terpikir untuk menulis soal di bawah ini. Eh, sial. Akan kalah menarik lagi. Kali ini oleh peristiwa terbaru: penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan oleh KPK kemarin.

Yang ingin saya tulis itu adalah terbentuknya otoritas pendanaan investasi. Yang selama ini kita memang belum punya. Sepanjang sejarah Indonesia. Yang secara internasional disebut sovereign wealth fund (SWF).

Iseng-iseng saya kirim WA ke Jenderal Luhut Panjaitan: Menko Maritim, Investasi, dan Energi. Untuk saya ajak  podcast soal itu. WA saya hanya 9 kata. Sekalian ingin mendapat cerita beliau sepulang dari Amerika Serikat.

Ternyata menit itu juga langsung dijawab. Ok. Saya pun ke Jakarta lagi.

Ups… Jenderal Luhut ternyata masih dalam status karantina. Hari terakhir. Di sebuah hotel tidak begitu jauh dari rumah pribadinya.

Saya pun harus tes Covid-19 dulu. Peralatan tes sudah tersedia di ruang sebelah kamarnya menjalani karantina.

Itulah untuk kali pertama saya menjalani tes Covid-19. Cairan pun diambil dari pedalaman dua lubang hidung saya.

Ternyata pasti. Indonesia akan punya SWF. Saya pun bertanya: apa nama lembaga itu dalam bahasa Indonesia. Jenderal Luhut langsung mengingat-ingat nama itu –terlihat pikirannya seperti masih tercampur dengan bahasa Inggris. Atau juga karena pernah ada beberapa usulan nama itu –masih mikir yang mana yang dipilih.

“Akhirnya namanya… Nusantara…,” ujarnya sambil mengingat sambungannya. Saya pun menebak-nebak nama itu sesuai dengan struktur bahasa Indonesia: Otoritas Investasi Nusantara.

“Iya. Betul. Otoritas Investasi Nusantara”, katanya.

Tentu nama yang definitif masih harus kita tunggu. Yang akan tertuang dalam sebuah peraturan pemerintah. Yang segera diterbitkan. Sebagai salah satu turunan UU Omnibus Law.

Saya pun baru tahu bahwa pembentukan UU Omnibus Law itu ternyata dimaksudkan –salah satunya– untuk memayungi ide SWF itu.

Mengapa SWF?

Di Singapura SWF itu bernama Temasek. Di Tiongkok disebut CIC (China Investment Corporation). Arab Saudi juga punya: Public Investment Fund (PIF). Yang dibentuk setelah Mohamad bin Salman menjadi putra mahkota. Dengan modal USD 380 miliar –sekitar… hitung sendiri saja.

Di banyak negara memang seperti itu.

Tentu ide pembentukan Otoritas Investasi Nusantara ini baik sekali. Memang saya berpendapat pembentukan SWF itu agak terlalu dipaksakan. Terutama dilihat dari kemampuan kita menempatkan modal di situ. Tapi saya juga setuju kita-kita ini sesekali perlu memaksa diri untuk bisa maju. Siapa tahu bisa. Dan ternyata sering bisa.

Memang jatuhnya agak berbeda dengan di negara lain.

SWF bernama Temasek misalnya, dibentuk dari terlalu besarnya cadangan devisa Singapura. Cadangan devisa itu ”nganggur” di rekening bank sentral. Padahal, kalau diputar dalam bentuk investasi, tentu bisa beranak-pinak.

Maka Singapura membentuk Temasek. Sekalian menjadi holding semua BUMN di sana.

Demikian juga Tiongkok. Devisanya terlalu menggajah. Devisa Tiongkok sampai triliunan US dolar. Cadangan devisa itu dikumpulkan awalnya hanya untuk jaga-jaga. Agar sebuah negara punya valuta asing untuk mencukupi keperluan impor bagi kebutuhan dalam negeri masing-masing.

Teorinya: setiap negara baiknya punya cadangan devisa yang jumlahnya cukup untuk membiayai impor selama enam bulan.

Dengan cadangan devisa sebanyak itu negara tidak mudah panik. Ekonomi bisa lebih stabil.

Sekarang ini Indonesia punya cadangan devisa USD 130 miliar atau sekitar itu. Aman.

Di akhir masa pemerintahan Bung Karno kita pernah punya cadangan devisa hanya bisa untuk impor beberapa minggu.

Di India, ketika program Berdikari digalakkan –dan rakyat menyambut dengan bangga– ekonominya nyaris hancur. Cadangan devisanya tinggal hanya cukup untuk impor 1 minggu! Bahaya sekali.

Sejak itu India kapok menggembar-gemborkan keinginan Berdikari–di sana disebut Swadesi. Itu sekaligus menandai dimulainya era baru Mahmohan Singh yang menyelamatkan ekonomi India.

Di Arab Saudi pembentukan  SWF itu didorong oleh terlalu banyaknya uang yang kurang produktif. Yakni uang hasil tambang minyak.

Intinya: negara-negara itu punya masalah besar. Yakni memiliki terlalu banyak uang! Lalu mereka ingin punya uang lebih banyak lagi. Maka uang-uang itu harus beranak pinak dengan suburnya. Harus diinvestasikan yang menghasilkan ”anak” lebih tinggi dari bunga tabungan.

Maka uang itu ditaruh di SWF. Lembaga SWF-lah yang memutar otak: mau diinvestasikan di mana uang lebih itu –agar untungnya lebih besar dari bunga bank.

Begitulah mereka.

Kita lagi tidak kelebihan uang. Cadangan devisa kita masih dalam skala ”aman” –bukan berlebihan. Itu pun masih mengandung sedikit waswas. Sebagian devisa itu datang dari sumber yang Anda tahu: pinjaman.

Ekspor kita juga bukan lagi kuat-kuatnya. Yang sampai melebihi impor kita. Bahkan kapan itu, berbulan-bulan, kita mengalami defisit neraca perdagangan.

APBN kita juga bukan APBN yang surplus. Kita masih menganut APBN minus.

Dan seterusnya.

Lalu dari mana modal Otoritas Investasi Nusantara kita? Dari mana SWF kita itu dapat uang?

Itulah sebabnya saya ingin podcast dengan Jenderal Luhut. Yang disiarkan besok itu. (*)