Tersandera
Oleh: Alisan
PENSIUNAN letnan kolonel itu sungguh pusing di awal menjabat. Lima tahun lalu. Ketika disorongkan angka belanja, anggaran terbang sana-sini berseliweran. Hampir setiap hari, ada anak buahnya yang keluar daerah entah ke mana saja. Hasil bukan urusan, perjalanan dinas adalah segalanya.
Pensiunan angkatan udara itu, akhirnya mengambil jalan lain. Semua anak buah yang melancong pakai uang negara, harus atas tanda tangannya. Harus dijelaskan secara rasiomal tujuan ke ibu kota, apabila gagal menjelaskan perjalanan hanya sebatas angan-angan.
Soal jalan-jalan ini memang menyengsarakan finansial sebuah wilayah. Pensiunan tentara itu saban hari setelah dilantik selalu gelisah, sarana publik masih minim, itu sulit dipenuhi manakala banyak anak buahnya jalan-jalan terus menerus.
Ketika membahas rencana anggaran, kepala daerah ini mulai menekan: pangkas yang tak perlu, termasuk perjalanan dinas. Sebagai mantan pegawai negeri dari militer, ia sepertinya tahu. Tanpa perjalanan dinas, abdi negara bisa hidup karena memang diupah layak. Mendapat honor dari berbagai sosialisasi atas nama itu, yang manfaatnya abstrak.
Setelah itu, gaduhlah kapal besar birokrasi. Kepala daerah itu tak ambil pusing, toh pemerintahan tetap jalan, sarana secara perlahan hadir di pelosok. Hingga akhirnya, ia melunak. Mungkin iba atau melunak dengan tekanan seribu lebih jiwa pegawai negeri itu. Akhirnya, tambahan penghasilan diberikan.
Apa lacur, perjalanan dinas tetap jadi utama. Uang publik yang dititipkan untuk dikelola, tetap masih juga ingin digerogoti dengan tiket burung besi atau bahan bakar minyak perjalanan dalam daerah. Meski, tambahan penghasilan itu, sungguh besar untuk wilayah yang kasnya terseok-seok.
Di penghujung pemerintahan, tekanan lama soal pembatasan jalan-jalan itu, nyaring lagi. Didengungkan mereka, yang mungkin pernah mengajukan keluar daerah lantas ditolak. Tapi, itu tampaknya bukan masalah, toh jumlah mereka hanya seribuan tidak memengaruhi vote yang total jumlahnya 47 ribu.
Dari sini semua bisa melihat, ternyata kebiasaan lama itu tak urung berbenah. Dari sini, ternyata siapapun kepala daerah akan tersandera dengan tekanan anak buahnya, yang menginginkan titipan dana publik dikelola suka-suka: honor ini itu, dana jalan-jalan, dandani kantor, merawat kendaraan, atau sekadar makan minum tetamu.
**
Senin sampai Jumat, kantor-kantor itu tampak sibuk. Dokumen-dokumen tebal diteliti lembar demi lembar, angka berderet hanya mereka yang tahu. Yang bekerja seperti itu, sedikit dari jumlah mereka.
Adapula yang datang jam 7.30 hanya untuk mengisi presensi, lalu kembali pulang. Adapun yang bertahan lama banyak bercetus peta politik, memprediksi angka-angka perolehan suara. Bukan menghitung pendapatan daerah yang minus atau mencari kunci agar pengangguran bekerja.
Akhirnya, daerah itu seperti dalam novel-novel Andrea Hirata. Lulus pendidikan hanya mendaftar pegawai negeri di daerah, mendaftar polisi, tentara, atau menganggur sambil menyeruput kopi di kedai Usah Kau Kenang Lagi. Begitulah nama kedai di novel-novel tetralogi dan dwilogi Pak Cik-sebutan lain Andrea.
Bila garis tangan beruntung, lulus pegawai negeri. Ia terjerambap dalam rutinitas: mengisi presensi, mengontrol nomor surat dan dokumen, hingga mengatur sosialisasi agar dibuka atasan tertentu. Di hari baik, mengantar dokumen agar dikonversi menjadi cuan. (*)