Oleh: Alisan
DI rumah sebelah kanan 102 tahun yang lalu, RolihlahlaMadibaDalibhunga Mandela lahir di tengah-tengah lingkungan yang rasis. Di sebuah desa kecil: Mvezo, Afrika Selatan.
Atas penguasaan Inggris, pilah-pilih ras sangat kental. Tak ada akses demokrasi, akses pendidikan, hingga hak atas tanah, meski sekadar bercocok tanam. Rolihlahla, hanya mengecap keberuntungan karena putra kepala desa, tapi segera tercerabut setelah sang ayah melawan kesewenang-wenangan itu.
Puluhan tahun kemudian, bayi itu mengubah Afrika Selatan dan membuat dunia terbelalak. Ia menjadi pemimpin bagi bangsanya dan dianugerahi Nobel Perdamaian. Menghilangkan sekat kulit hitam dan putih, turut menghadirkan kesetaraan.
Karena itu, Tom Lodge dalam Mandela: A Critical Life (New York: OxfordUniversity, Press, 2006) memberi kesan bahwa Mandela mungkin telah mengubah mitos dari sebuah pentahbisan atau penobatan, aristokrat, dan peran kepemimpinan secara sengaja.
Potongan cerita itu terselip dalam karya Peter Limb; Nelson Mandela a Biography. Lalu diterjemahkan oleh Eka Oktaviani dan diterbitkan Basa-basi.
Akses demokrasi yang himpit di zaman Mandela kecil membuat kepemimpinan di setiap tingkatan hanya impian. Sifat aristokratis membuat kulit putih mendapat peluang lebih luas mengendalikan banyak hal.
Dari Inggris, penyair dan kritikus sastra Matthew Arnold di abad ke-19 justru menilai hidup dalam aristokrasi cenderung menghasilkan dampak, yang sebaliknya dan melumpuhkan semangat. Baginya, hakikat demokrasi adalah kesetaraan (HumanismandCapitalism, 1984).
Aristokrasi yang kita segera tahu hanya memberikan akses kekuasaan berada di tangan kaum bangsawan. Secara tak sadar, pertanyaan demi pertanyaan datang: Calon pemimpin itu bersumber dari marga mana? Hubungan-hubungan biologis masih kerap dipopulerkan kini dan akan datang.
Sehari setelah pemungutan suara Pilkada 2020, kita segera tahu dinasti tak lekang dan tak ada kejutan di pesta demokrasi serentak. Liputan koran Tempo 10-11 Desember turut mengonfirmasi masih melekatnya aristokrasi. Calon pemimpin yang seluruh namanya tak lazim atau tak besar lingkaran kekeluargaannya akan menemui kalah yang telak juga mutlak.
Seluruh calon pemimpin yang bertarung di beberapa daerah terkadang kita temui memiliki hubungan-hubungan kekeluargaan yang sangat dominan di sebuah daerah, setidaknya berkaitan dengan darah biru. Kehadiran mereka tampak pada dua dekade perebutan kekuasaan lokal.
Gara-gara aristokratis ini mungkin mengantar pemilihan gubernur Sulawesi Tengah, secara berurutan hanya terdiri dari satu atau dua. Isu keterwakilan wilayah lebih hidup daripada kesetaraan gender yang kian tersisi.
Pilihan yang sebetulnya menyandera itu, justru dianggap maklum. Memilih jalan Golput dianggap sebuah pelanggaran, juga “aib” di bilik suara. Maka, segera saja suara yang sebentar lagi akan menjadi sekadar angka-angka perolehan atau persentase disumbangkan.
Aristokratis yang telah berusia berabad-abad tak pernah mati ketika pesta para politikus. Pada akhirnya, dua hingga tiga tahun kemudian kita barangkali akan melihat hasilnya, ternyata mereka bukan pemimpin, cuma pemimpi.
Tahun kelima, saat pesta bersiap dimulai berikut hiruk pikuknya, semuanya lelap dan siklus itu hadir kembali. Tak sadar, aristokrat tertanam di benak, eksekutif-legislatif hanya biasa dikuasai sedikit rumpun yang berpotensi persengkongkolan legal. (*)