Kawasan Nondemokrasi
Oleh: Dahlan Iskan
Demokrasi mati. Pelan-pelan. Satu persatu. Setelah Tiongkok, Vietnam, dan Kamboja kelihatannya Myanmar menyusul. Bahkan Thailand sudah lebih dulu.
Di antara negara yang saya sebut tadi memang Myanmar yang paling tertinggal. Tiongkok, Anda sudah tahu. Vietnam juga jadi buah bibir. Kamboja sekarang lagi menggeliat hebat.
Semua itu tanpa demokrasi. Atau dengan demokrasi, tapi seolah-olah.
Thailand pun, sejak kudeta terakhir, demokrasinya belum dipulihkan. Mungkin tidak akan. Toh sekarang, sekilas, sudah terlihat demokratis. Ada banyak partai. Ada Pemilu.
Apalagi di Myanmar (d/h Burma),demokrasinya masih begitu muda. Pemilu pertama pasca junta militer baru terjadi tahun 2015. Dan Pemilu keduanya baru tahun lalu. Yang hasilnya: Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy/NLD) menang lagi. Bahkan lebih besar: 83 persen suara di parlemen.
Parlemen hasil Pemilu itu, menurut rencana, dilantik Senin pagi kemarin. Pelantikan itu gagal. Lima jam menjelang pelantikan tokoh-tokoh partai itu ditangkap. Pukul 04.00 tentara mendatangi rumah-rumah mereka. Untuk dibawa entah ke mana.
Termasuk yang ditangkap itu: Aung San Suu Kyi. Ia tokoh sentral politik Myanmar. Yang kini hidup menjanda, sendiri, –suami meninggal dan dua anaknyi tinggal di kota Oxford Utara, Inggris.
Dia sebenarnya bukan janda. Suaminyi adalah politik itu sendiri. Dia putri pejuang utama kemerdekaan Myanmar. Ayahnyi, Jenderal Aung San, terbunuh dua tahun sebelum Myanmar Merdeka. Saat itu Suu Kyi baru berumur 2 tahun.
Suu Kyi lantas kuliah di New Delhi, India. Lalu lanjut ke Inggris, ke Oxford University. Di usia 43 tahun Suu Kyi harus pulang ke Myanmar. Di saat yang sebenarnya kurang tepat –di tengah pemerintahan diktator militer. Tapi ibunyi sakit keras. Suu Kyi harus merawat sang ibu. Anaknyi yang masih 11 dan 14 tahun ditinggal di Inggris, bersama suaminyi Michael Aris, orang Inggris kelahiran Kuba.
Sebelum kawin, Suu Kyi kerja di PBB di New York. Tiap hari dia menulis surat ke pacarnya itu. Tahun 1972 mereka menikah dan langsung tinggal di Bhutan.
Ketika Suu Kyi untuk kali pertama pulang ke Myanmar itu,dia baru 15 tahun menikah. Suami dan dua anak ditinggal di Oxford. Ketika pun tahun 1999 sang suami meninggal, Suu Kyi masih dalam status tahanan.
Di Myanmar Suu Kyi berkembang jadi tokoh sentral perlawanan pada pemerintahan militer. Dia ditangkap. Dipenjara di rumahnyi. Sampai 21 tahun. Tapi dia tetap menjadi tokoh perlawanan –dari balik penjara.
Ketika Suu Kyi menerima hadiah Nobel perdamaian, anaknyi itu yang mewakili. Termasuk berpidato atas nama sang ibu.
Perjuangan Suu Kyi akhirnya berhasil. Dunia Barat mendukungnyi. Pemerintahan militer menjanjikan Pemilu pertama secara demokratis pada tahun 2015.
Sebelum Pemilu, militer sudah menyusun konstitusi: 25 persen kursi di parlemen wajib disediakan untuk ‘Fraksi ABRI’-nya tentara Myanmar. Tujuan idealismenya: untuk mencegah dilakukannya perubahan konstitusi.
Konstitusi memang bisa diubah. Syaratnya harus mendapat persetujuan 3/4 suara parlemen. Dengan 25 persen kursi di tangan tentara perubahan itu menjadi mustahil. Dalam kata-kata Pak Harto dulu –kalau perlu satu orang anggota DPR diculik agar tidak memenuhi persentase itu.
Isi lain konstitusi adalah: seseorang tidak bisa dipilih sebagai presiden mana kala punya suami atau anak warga negara asing.
Tujuan pasal itu jelas: agar Suu Kyi tidak bisa jadi presiden –biar pun partainyi menang. Kewarganegaraan ganda anaknyi memang sudah ”diselesaikan” lebih dulu: pemerintahan militer sudah mencabut dua paspor Myanmar anak Suu Kyi.
Ada lagi: tiga jabatan menteri harus di tangan militer. Yakni menteri pertahanan, menteri perbatasan, dan menteri dalam negeri.
Dengan konstitusi seperti itu militer bisa menerima kemenangan partainya Suu Kyi. Apa boleh buat.
Suu Kyi pun tidak bisa menjadi presiden. Jabatan formal Suu Kyi adalah menteri luar negeri. Lalu diciptakan jabatan konseloratau penasihat negara untuk dia. Presidennya sendiri hanyalah petugas partai. Semua harus tunduk kepada menteri luar negeri –ketua umum partai.
Rakyat pun semakin bersemangat. Untuk membuat kemenangan lebih besar lagi di Pemilu kedua tahun lalu. Agar konstitusi seperti itu bisa dirombak. Berhasil. Menang 83 persen.
Rupanya militer merasa terancam. Hasil Pemilu itu ditolak. Dengan alasan Pemilunya tidak jujur. Banyak golongan minoritas tidak mendapat hak suara. Di kawasan Rohingya saja terdapat 1,5 juta pemilik suara tidak bisa mencoblos.
KPU Myanmar ngotot Pemilu sah. Tidak ada kecurangan yang akan menghasilkan perubahan perolehan suara.
Tentara merasa tidak mendapat jalan konstitusi.
Maka jalan tentara yang akhirnya ditempuh: kudeta. Jam 4 pagi.
Sejak Senin pagi kemarin kepemimpinan negara dipegang Panglima Militer: Jendral Min Aung Hlaing. Yang tahun ini harus pensiun. Umurnya 65 tahun.
Min Aung Hlaing menegaskan hanya akan memegang kekuasaan selama satu tahun. Setelah itu akan dilaksanakan Pemilu. Tapi siapa yang percaya lidah tanpa tulang seperti itu.
Mungkin saja janji tersebut akhirnya akan dipenuhi. Kelak. Kapan-kapan. Setelah militer merasa aman –bahwa partai yang mereka dukung yang akan menang. Apa pun caranya. Seperti yang terjadi di Thailand sekarang.
Senin pagi itu banyak penduduk tidak tahu apa yang terjadi. Orang-orang tetap ramai pergi ke pasar. Hanya mereka lihat banyak mobil tentara di jalan-jalan raya.
Saya jadi ingin ke Myanmar lagi. Apakah benar ekonominya tidak semenggeliat Kamboja. Waktu saya ke sana tujuh tahun lalu, terlihat di jalan-jalan sudah banyak mobil Jepang. Saya sempatkan naik kereta apinya yang sangat kumuh. Tapi pinggiran sungai di tengah kota sudah mulai ada tamannya. Banyak yang senam di situ. Saya pun ikut gabung mereka bersenam ria.
Selama 7 tahun berdemokrasi Myanmar tidak terlalu menarik perhatian dunia. Ekonominya juga biasa-biasa saja. Bahkan empat proyek raksasa di bidang ekonomi tidak jalan.
Dua di antaranya kawasan industri khusus di daerah selatan yang miskin. Yang satu ditangani Thailand dan Jepang. Satunya lagi proyek Obor dari Tiongkok.
Dua proyek itu sudah berumur 8 tahun. Tapi tidak juga mulai berjalan. Begitu juga bendungan raksasa di bagian utara negara. Tersendat-sendat.
Proyek ”Thailand-Jepang” itu berada di ”leher” Semenanjung Melayu. Disebut DaweiSpecial Economic Zone. Pelabuhan raksasa, jalan tol menuju perbatasan Thailand dan kawasan industri dibangun di sini. Macet. Sampai sekarang.
Demikian juga pelabuhan raksasa di pantai Rohingya. Yang akan dihubungkan dengan jalan tol sepanjang 500 Km sampai ke Yunnan, Tiongkok. Belum juga bisa dimulai. Tiongkok, menurut rencana, akan menggunakan pelabuhan Rohingya ini untuk mengatasi isolasi provinsi Yunnan. Ekspor dari Yunnan lebih dekat lewat Rohingya daripada lewat Guangzhou atau Shenzhen.
Itulah sebabnya Tiongkok tidak ikut mengecam kudeta di Myanmar itu. Pernyataan Tiongkok netral sekali: agar kedua belah pihak bisa saling menemukan kesepakatan.
Kalau Myanmar terus berjalan dengan tanpa demokrasi, maka seluruh kawasan ini sudah meninggalkan demokrasi. Tinggal Malaysia yang justru mulai belajar berdemokrasi. Dan Indonesia kita yang lagi berjuang entah ke mana.(*)