CerpenSastra

Demonstran Prematur

Karya, Abdy Gunawan

 

“Ha? seratus orang?” Teriak Kasman.

“Ssst! pelan-pelan Paman! saya masih tidak habis pikir kenapa kali ini mereka minta sebanyak itu. Padahal bisa dibilang isu nya remeh-temeh. Cuma soal tenaga kerja,” sambung keponakan Kasman, Rudi namanya.

Kasman sudah menganggap Rudi seperti anak sendiri. Sejak ditinggal wafat oleh kedua orang tuanya, Rudi dibesarkan dan disekolahkan Kasman sampai ia menyandang status mahasiswa Fakultas Hukum di salah satu universitas ternama di kota Jaya Raya.

“Katakan pada ketua BEM-mu bahwa aku sudah kehabisan pemuda desa. Tidak ada lagi yang bisa membantu ibunya bertani, memancing atau mengolah bengkel milik ayah-ayah mereka. Jangan seperti itu! mereka juga harus kerja. Kau tahu kan hidup seorang lulusan SMP? keras! bak budak di mata majikan.”

“Ayolah, Paman! entah apa yang ada di benak ketua BEM, kau harus membantuku! kau tentu bangga jika keponakanmu ini dihormati dan disanjung kalangan aktivis kampus”

Selalu alasan tersebut yang disampaikan Rudi agar mendapat uluran tangan pamannya. Ia paham betul apa yang dapat dilakukan kakak dari ayahnya itu. Menghidupi seorang istri beserta dua orang anak, plus satu orang anak angkat dengan hanya bermodalkan jabatan sebagai Kepala Desa tidaklah mudah. Rudi sering mendengar perbincangan di ruang tamu antara Kasman dengan orang-orang berseragam coklat tua dengan lencana di pundak, juga beberapa orang yang memperkenalkan diri sebagai manajer, supervisor atau mandor perusahaan yang akan membangun fasilitas umum di Desa mereka.

Memang kegiatan seruput kopi sambil tertawa terpingkal-pingkal yang mereka lakukan hanya berlangsung satu sampai tiga jam, tapi besok hingga hari ini, Kasman mampu membeli satu unit mobil avanza hitam, motor untuk masing-masing anaknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah dan modal untuk menyekolahkan Rudi hingga ke bangku kuliah.

“Gaji Perangkat Desa di negeri ini kecil, Rudi. Jangan menyombongkan pekerjaan paman kepada teman-temanmu” kata pamannya ketika rudi masih SD.

“Anak-anak itu harus tahu betapa kaya nya paman Kasman hingga dapat membelikanku Playstation 1, yang tidak dapat dimiliki anak-anak lain karena terlampau mahal.”

“Hust! Itu bukan dari paman! itu dari dana desa. Oleh karena itu, jangan arogan! tidak semua anak bisa mendapatkannya. Betapa diberkati hidupmu oleh Tuhan, berkat itu bahkan bukan milikku, tetapi bisa sampai pada mu, jadi diamlah! dan lekas tidur!” Kasman selalu menasihati Rudi untuk selalu rendah hati sejak keponakannya itu masih belia. Semakin bertambah usia, Rudi Pun paham, selain kasihan, paman nya sudah punya simpanan yang cukup ketika memutuskan untuk mengadopsi dirinya.

“Memang bukan uang Paman, tapi ini berkat Paman” kata Rudi sambil memeluk Kasman saat acara kelulusan SMA-nya.

Tidak jauh berbeda dengan saat ini, saat Rudi dipercayakan kembali oleh ketua BEM-nya untuk membawa massa aksi yang banyak, bahkan kali ini dua kali lipat dari permintaan sebelumnya, “Tolong yah Rud! ada banyak media nanti. Kau yang paling bisa ku andalkan” pujian ketua BEM-nya itu selalu terngiang di telinga Rudi, memaksa dirinya selalu terjaga saban malam, memikirkan cara agar dapat membawa orang sebanyak itu. Ia lebih memilih anemia, daripada harus menanggalkan kesempatan diapresiasi oleh senior-senior-nya.

Awalnya,  Kasman sama sekali tidak ingin ikut campur dalam urusan perkuliahan Rudi. Ia tidak peduli dan tidak pernah bertanya perihal bagaimana Rudi menjalani kuliah? Apakah ada masalah dengan dosen ? Atau berseteru dengan kakak tingkat. Sampai suatu malam ia memperhatikan Rudi berjalan bolak-balik dari dapur,  singgah di ruang tamu untuk berbaring di sofa, lalu kembali ke kamar tidurnya.

“Apa yang membuatmu tidak bisa tidur Rudi?” tanya Kasman.

“Kau tahulah urusan pergerakan, kami akan melakukan aksi lusa. Butuh tambahan 20 orang. Mahasiswa banyak yang apatis Paman”

“Ah aksi yah, bisa berikan nomor telepon ketua BEM-mu”

“Oh bisa, 0852—–”

“Tuut! Halo ini dengan mas Anwar? saya pamannya Rudi. Tunggu saya pindah tempat dulu, soalnya disini tidak kondusif”

Rudi bingung. Kurang etis rasanya menyela atau ikutan nimbrung dalam pembicaraan serius antara Paman dan ketua BEM-nya. Ia tidak harus mengikuti paman ke teras lalu menguping obrolan mereka, toh yang Rudi yakin Kasman bakal menolongnya menyediakan massa aksi.

“Bagaimana Paman?” tanya Rudi sesaat setelah Paman-nya masuk ke dalam rumah.

“Luar biasa, aktivis zaman sekarang pandai berbisnis ya.”

“Jadi?”

“Paman akan membantumu mengumpulkan orang. Besok bawalah 20 jas Almamater kampus mu ke rumah, nanti biar paman yang membagikannya ke warga Desa”

“Biarkan aku membantu!”

“Tidak usah! kau fokus saja mempersiapkan aksi tersebut. Paman mau kau tetap fokus berjuang. Betapa bangganya Paman kalau kau bisa sedekat itu dengan ketua BEM-mu atau bahkan bisa seperti dia nantinya” sela Kasman sambil menyeringai licik.

“Baiklah, aku mengerti Paman. Aku tidur duluan.”

Setiap kali organisasi mahasiswa yang menamakan diri BEM itu akan melaksanakan demonstrasi, Rudi bertugas mengumpulkan masa tambahan untuk menutupi partisipasi mahasiswa fakultas mereka yang sangat minim. Rudi bingung dengan teman-teman seangkatannya. Mereka lebih memilih berlama-lama di dalam kelas hingga pusing akibat tugas kuliah, daripada makan enak dan gratis sembari bersenda gurau dengan teman-teman baru yang kritis dan pemberani.

Kata seniornya ia masih terlalu muda untuk ikut mengkaji isu dan menyusun strategi terkait aksi yang akan mereka lakukan. Rudi hanya menunggu informasi jika rencananya sudah fix, lalu mencarikan  partisipan. Hal itu tentu mudah bagi Rudi. Pamannya yang baik selalu siap membantunya. Orang-orang suruhan Rudi itu dibawanya ke titik kumpul kemudian setelah bubar ketua BEM memberinya amplop putih yang cukup tebal, “Sampaikan terimakasih ku kepada paman Kasman”.

Berbeda dari biasanya, kali ini jumlah yang diminta lima kali lipat dari biasanya. Paman Kasman kesulitan membujuk pemuda desa untuk ikut demo karena rata-rata mereka sudah mulai bekerja dan ada pula yang akhirnya mampu untuk melanjutkan pendidikan, alhasil dengan nekat Kasman mendatangi komplotan preman pasar yang terkenal bengis, suka memalak bahkan terkadang tak segan melukai orang yang mencoba menentang mereka.

“Bayarannya Oke kok. Kalian tinggal datang ke alamat yang kuberi, lalu menunggu sampai demonstrasinya selesai” kata Kasman kepada salah seorang preman yang paling ditakuti karena punya banyak anak buah dan jago berkelahi.

“Ada lagi?”

“Kalau boleh malam ini jangan dulu minum-minum!”

Semua orang di rumah Perjudian itu secara serentak menatap Kasman yang duduk bersama pimpinan mereka. Tatapan masing-masing pria yang tampak menyeramkan itu, seakan telah menggorok leher Kasman secara berulang-ulang. Bagaimana tidak, Sekelompok manusia yang mengisi hari dengan mabuk-mabukkan, seks dan narkoba itu didatangi oleh seorang pejabat yang menyuruh untuk menghentikan kebiasaan mereka. Bisa dibayangkan betapa menyesalnya Kasman setelah menyampaikan permintaannya barusan.

“Terserah kalian saja kalau begitu. Ini uang muka nya, sisanya nanti setelah aksi. Aku pergi dulu” keringat membasahi pelipis Kasman. Ia masih tetap menunjukan keramah-tamahan yang sama sekali tidak dapat menutupi rasa takutnya.

* * *

“Ini orang-orangmu Rudi?” tanya Anwar kecewa ketika mendapati pria-pria yang memakai jas almamter kampusnya, terlihat sangat tua, galak dan menakutkan dengan tato dan tindik di telinga dan lidah mereka.

“Paman Kasman yang mengurusnya, aku hanya memberikannya jas Almamater kampus kita, kak.”

“Dasar goblok! seharusnya kalian kasih tahu dulu kepadaku jika akan mengajak preman. Lihat apa yang mereka perbuat pada mahasiswi-mahasiswi kita!”

“Kau tidak pandai berbisik rupanya. Kau ketua BEM? An an–” ketua Preman itu mencoba membaca nama yang tertulis di dada sebelah kanan jas almamater Anwar.

“Anwar Om!” Pria yang selalu tampak berani dan kelihatan gagah di mimbar kampus maupun di podium jalanan, kini tidak mampu lagi menengadahkan kepalanya dan menatap langsung wajah si Preman.

“Kalau tidak mau kami melakukan lebih dari sekedar merangkul gadis-gadis kalian, jangan banyak tanya dan cepat selesaikan demo ini!”

“Jangan berani macam-macam om! di sini banyak polisi.”

“Hahaha kamu tidak punya malu ya. Pakai hukum segala. Aku tahu siapa kalian dan apa yang kalian lakukan, kalian sama saja dengan kami, hanya metode dan penampilan saja yang beda”

Anwar hanya bisa menganggukkan kepala, dengan tangan yang tak henti-hentinya bergetar.

* * *

“Sudah cukup! kita bisa balik sekarang, tinggal menunggu parta oposisi merangkai opini” Anwar memberikan instruksi setelah dia dan teman-teman nya bergantian berorasi selama sekitar satu jam.”

“Tapi kak, Pak presiden belum keluar.”

“Pertanyaan mu selalu saja sama, kemarin di depan dinas pendidikan, seminggu yang lalu di kantor gubernur. Kenapa lekas pulang lah, kenapa tidak berjumpa dengan sasaran lah. Apa kau hadir saat setingan aksi?”

“Maaf, tidak pernah senior! katamu, saya harus menyelesaikan tugas penting mengumpul massa aksi”

“Yah benar, itu karena kau pasti menolak berbuat picik.”

“Hah? eh aku siap melakukan apapun. Aku mengagumi caramu berjuang, beretorika, dan bernegosiasi. Ajari aku! ceritakan rencana kalian sedetil-detilnya. Aku bisa juga picik, iya picik, kayak orang jahat kan? aku bisa, aku bukan orang baik senior’

“Memang bukan, kau sama jahatnya dengan kami. Bedanya kami punya otak dan kau tidak“

Di bagian lain kerumunan massa, terlihat seorang polisi memegang kepalanya yang berlumuran darah.

“Kenapa kau pukul pakai botol?” bentak seorang preman kepada anak buahnya.

“Dia bilang aku terlalu jelek dan terlihat miskin untuk jadi mahasiswa. Aku emosi Bos!”

“Gila kamu! makannya pikir sebelum bertindak. Berbuat kriminal itu pakai otak, bukan cuma pakai otot”

“Senjatanya kan cuma pentungan Bos, lagipula nantikan tinggal hubungi Jendral.”

Polisi yang merasa emosi atas perbuatan preman berkedok mahasiswa itu, melakukan serangan balik dengan menghajar siapapun yang terlihat mengenakan jas Almamater. Baku pukul tak terelakkan lagi antara polisi dan preman. Sementara mahasiswa yang berada di sana segera lari menyelamatkan diri agar tidak terkena sabetan pisau preman maupun pukulan kayu milik polisi.

Situasi yang tidak lagi kondusif dilaporkan salah satu petugas kepolisian ke markas pusat. Dia menyampaikan bahwa mahasiswa yang tadinya berdemo di depan istana kepresidenan, saat ini berusaha menyerang polisi dengan menggunakan senjata tajam.

Selang beberapa menit, datanglah satu peleton pasukan yang lengkap dengan senapan berpeluru karet. Mereka langsung, tanpa berpikir panjang, menembak Anwar dan kawan-kawan yang lari menjauhi tempat kerusuhan. Satu per satu anggota BEM tumbang. Ada yang berhasil menyelamatkan diri meski rasa sakit akibat terkena peluru karet mendera punggung dan lehernya, ada juga yang terbaring kesakitan di jalan, meronta-ronta meminta pertolongan. Kondisi Anwar paling parah dibandingkan teman-temannya. Ia sama sekali tidak ditembak dengan peluru karet, melainkan diringkus lalu dipukul di dekat mobil polisi secara beramai-ramai.

Naas bagi Rudi yang keluar dari tempat persembunyiannya dan kembali untuk menolong Anwar. Ia berpapasan dengan dua polisi. Salah satunya langsung meletakan ujung senapan laras panjangnya di jidat Rudi.

“jangan!”

“Kenapa tidak ditembak, Dan? kalau diampuni kedepan bisa bahaya bagi kita” kata prajurit yang berpangkat lebih rendah.

“Aktivis yang pintar akan tetap menjadi aktivis. Mereka tidak takut siapapun. Susah didiamkan jika itu sudah menyangkut ketidakadilan.”

“Kalau yang ini?”

“Tenang! dia bodoh, nantinya hanya jadi politisi.” (*)