LUWUK, LUWUK POST.id – Melalui pertemuan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Banggai, pada Jum’at (23/7), Federasi Serikat Pekerja Transport Seluruh Indonesia (FSPTSI) selaku pihak yang diundang dalam kegiatan tersebut, mengapresiasi dan mendukung penuh pada pernyataan Bupati, Amirudin Tamoreka untuk menindaki penguasaha bongkar muat dan jasa ekspedisi yang tidak taat pada aturan.
“Dalam pertemuan tersebut, Bupati Banggai menyayangkan sikap pengusaha di Pelabuhan Tangkian yang mempolisikan 3 orang buruh transport karena pengusaha masih memberlakukan tarif OPP/OPT tahun 2020, padahal sudah ada kesepakatan untuk memberlakukan kembali tariff OPP/OPT Tahun 2017,” ujar Sekretaris FSPTSI Banggai, Faisal Lalimu.
Secara lebih rinci, ia menjelaskan, regulasi terkait penyesuaian pemuatan pelabuhan/ongkos pemuatan tujuan (OPP/OPT) tahun 2017 mengharuskan fee 20% bagi buruh transport yang melaksanakan pekerjaan, walaupun tidak secara langsung melainkan dengan bantuan mesin. Sedangkan di tahun 2020, regulasi OPP/OPT meniadakan itu. Pengusaha ekspedisi di Pelabuhan Tangkian, mempolisikan buruh karena dianggap melakukan pungutan liar (pungli) karena tidak ada dalam regulasi. Sedangkan berdasarkan kesepakatan Bupati dengan berbagai stakeholder (9/7) termasuk pengusaha dan buruh, agar OPP/OPT 2017 diberlakukan kembali.
“Bupati memahami bahwa tarif yang dibuat di tahun 2020 tidak berpihak pada buruh, dan disepakati secara sepihak oleh Pengusaha dan Pemda di waktu itu. Makannya kami merasa perlu mengawal keinginan Bupati untuk menindaki dan meninjau kembali izin Pengusaha yang tidak taat pada peraturan,” ujar pria yang akrab disapa Isal itu.
FSPTSI bersama kawan-kawan buruh di tangkian, dalam pertemuan tersebut meminta penangguhan tahanan buruh pelabuhan tangkian yang sampai saat ini belum dibebaskan.
“Mereka menagih bayaran mereka karena mengacu pada kesepakatan yang berlaku, mugkin karena ketidaktahuan pengusaha, mereka dilaporkan atas tuduhan pungli. Itu juga yang Bupati sayangkan, kenapa sudah ada solusi yang dibuat tetapi masih ada gejolak,” imbuh dia.
FSPTSI juga mempertanyakan waktu yang diminta Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan (KUPP) untuk menginisiasi pembahasan draft revisi OPP/OPT yang baru. Menurut mereka, waktu 1 bulan itu terlalu lama sedangkan masalah yang timbul karena tidak adanya kejelasan regulasi silih berganti. Sedangkan sesuai aturan, penyusunannya tidak bisa melebihi dua minggu sejak aturan tersebut kadaluarsa.
“Semoga aturan yang lahir mengakomodir kesejahteraan buruh transport dan buruh bongkar muat, karena OPP/OPT yang berlaku saat ini tidak memenuhi standar UMK jika diakumulasi pendapatan mereka selama 1 bulan, walaupun jam kerja mereka sama dengan buruh di bidang yang lain,” sambung Isal.
Terakhir, ia menegaskan, meskipun urusan mengenai kegiatan di Pelabuhan merupakan wewenang pemerintah pusat, tapi urusan ketenagakerjaan buruh yang menjadi motor penggerak aktivitas di pelabuhan menjadi tanggung jawab Pemda, melalui Dinas Ketenaga Kerjaan Dan Transmigrasi (Disnaker), terutama dalam hal pengawasan terhadap regulasi yang berlaku. Untuk itu, Ia berharap agar Pemda bisa konsisten dalam melindungi buruh. (abd)