CerpenSastra

Ketika Tuhan Memimpikan Cahaya

Karya, Abdy Gunawan

 

Cahaya begitu murung sore ini, ia terus melamun walau aku tidak henti-hentinya bercerita lucu dan bersikap jenaka. Ada yang aneh. Sikap konyol, dan kemampuanku membuat orang lain tertawa adalah satu-satunya alasan mengapa gadis manis, seorang model iklan di stasiun TV terkenal ini, mau berpacaran dengan pria kantoran dan biasa-biasa saja sepertiku.

Kedai kopi ini terlihat sepi bagiku. Tidak ada gunanya mendengar tawa berisik pasangan muda-mudi, rekan kerja, beberapa orang mahasiswa yang duduk di sekitar kami berdua, berbicara soal kehidupan dan urusan masing-masing. Bisa jadi hati mereka menuntun lidah untuk merangkai kalimat-kalimat jujur, atau otak mereka lebih menyarankan agar cukup mengarang kesenangan untuk menutup kesedihan. Percuma! Itu semua sepi. Tanpa kata-kata Cahaya yang menyenangkan telingaku, tanpa senyum Cahaya yang memijat nyaman mataku, dan tanpa gerak centilnya yang kadang-kadang membuatku terangsang untuk membuatnya diam dalam pelukanku.

“Ada apa?” tanyaku pada Cahaya yang hanya sibuk mengaduk secangkir Cappucino kesukaannya.

“Aku ingin kita putus!” jawab Cahaya datar.

Aku bingung bukan kepalang. Jantungku seakan mau copot dari rongga dada yang kecil dan kurus ini. Waktu di sekeliling ku seakan terhenti, otakku tidak sanggup lagi memikirkan hal-hal lain selain keinginan putus dari Cahaya barusan. Sementara itu, hatiku belum mau untuk menerima kata-kata tadi sebagai sesuatu yang harus aku tanggapi. Semua organ tubuhku menolak entah permintaan, atau perintah dari Cahaya tadi. Aku ingin kata-kata itu selamanya terpisah dariku. Tidak pernah menjamah telingaku, apalagi akan kuiyakan.

“Kau serius?”

“Tuhan yang serius!”

“Apa maksudmu?”

“Pernahkah kau berpikir. Bahwa aku, kamu, keluargaku, keluargamu dan semua orang saat ini hanyalah khayalan bahkan mimpi dari Tuhan. Kita bukan daging, dan tulang yang akan terasa nikmat bila saling menyentuh. Hanya impuls, abstrak dalam kepala seseorang. Apa pernah kau berpikir monster beruang dalam mimpimu bisa menyakitimu? Atau Sora Aoi, aktris film porno jepang yang selalu jadi bahan onanimu, bisa dengan nyata kau setubuhi? Seperti itulah kita, maya.”

“Aku tidak pernah ona-“

“Bukan itu intinya, Burhan!”

Aku mengerti. Kau barusan bicara soal takdir. Agama kita berdua, walaupun berbeda tapi punya pengertian yang sama soal itu. Dalam kitabku, Tuhan menulis kisah hidup manusia jauh sebelum manusia itu lahir. Tentang kematian dan Jodoh”

“Aku mengerti, dan nasib baik soal Rezeki bisa kita minta saat berdo’a. Kau tidak pernah bosan-bosan mengajarkanku soal agamamu, kau ingin betul kita seiman”.

“Terus?”

“Soal hubungan kita. Ini terjadi begitu saja. Empat bulan yang lalu aku berada di kota Manado, jauh di utara pulau Sulawesi, dan kau di sini, Luwuk, kota kecil di tengah pulau ini. Lalu lantas aneh, aku sama sekali tidak paham bisa setiap malam bertemu kamu di sini. Setiap malam, selepas jam-jam penatmu di tempat kerja. Aneh bukan?”

“Tidak ada yang aneh. Cinta adalah bagian dari sesuatu yang telah digariskan. Tetapi kau yang memilih untuk datang padaku. Tuhan tahu kau menerima tawaran untuk syuting iklan pariwisata di kotaku, berkunjung ke dinas pariwisata tempatku bekerja, dan kita pun bertemu di parkiran kantor. Aku menyapamu, dan janji untuk mengajakmu mengelilingi kota ini. Kau mengiyakan tawaran ku, kemudian kita pun saling mengenal lebih dalam, akhirnya kau bersedia untuk menjadi pacarku, tinggal di Luwuk dan memulai usaha event organizer sendiri”

“Kau menceritakannya seolah-olah kita begitu utuh dan sadar saat melakukannya.”

“Memang begitu. Kau tidak setuju?” Kataku. Suaraku mulai meninggi. Barista yang menyeduh kopi di depanku, kuperhatikan mencuri-curi pandang ke arah kami berdua.

“Kita hanya gagasan-gagasan acak yang tidak punya eksistensi untuk merasakan dan memahami apapun. Kau tahu, hanya rangsangan, semacam listrik pada neuron. Ia bergerak kesana, kemari, tidak punya daya untuk berhenti apalagi mengubah arah gerak.”

“Aku bisa merasa. Aku mencintaimu, dan kau juga merasakannya, bukan?”

“Tuhan yang merasakan, kita adalah lamunannya. Tokoh dalam sebuah kisah fiksi tidak dapat merasakan cinta, ia hanyalah proyeksi dari perasaan penulisnya”

“Ciumanku juga?”

“Iya!”

“Bagaimana dengan malam-malam minggu yang kita gunakan untuk saling menikmati kulit dan kelamin masing-masing. Penetrasi itu? Orgasme itu? Itu juga hanya khayalan menurutmu?”

“Iya benar, kita hidup. Eh bukan, dihidupkan dalam imajinasi seseorang. Bahkan hanya mimpi, jika Tuhan saat ini terlelap.”

Ingin rasanya ku seruput dalam sekali teguk kopi hitam yang ada di hadapanku walaupun masih sangat panas. Lebih baik seluruh organ tubuhku meleleh ketika kopi mendidih ini mengalir dalam sela-sela tulang dan urat. Lalu mati suri, lalu Cahaya membangunkanku. Cahaya yang telah kembali menjadi wanita glamour, pendek akal, manja dengan selera humor yang begitu receh. Tidak berpikir bak filosof seperti yang dilakukannya saat ini.

Kemarin aku masih ingat ia mengancam akan meninggalkan meja makan saat makan malam bersama keluarganya, jika aku terus membawa permasalahan politik Negara ini sebagai topik pembicaraan antara aku, dia dan ayahnya.

Ia selalu tertawa pada hal-hal sederhana yang tidak perlu berpikir untuk menganggap itu tidak lucu. Seperti saat dawaiku terjatuh dari genggaman, kelingking ku tersandung kursi, atau melihat pramusaji rumah makan yang kehilangan penanya. Ia juga berbicara dengan sederhana, dan hanya tertarik mendengar yang sederhana.

Apa yang terjadi pada cahaya? Apa ia melewati perenungan panjang dalam malam-malamnya diatas ranjangku. Aku tidak melihat adanya sikap bosan saat kami berhubungan intim. Atau mungkin ia pernah merenung di samping jendela, membakar rokok mild putihnya, menganggap betapa tidak pantasnya aku untuk memilikinya.

“Kau ingin hubungan kita berakhir, bukan?”

“Begitulah caraku memastikannya.”

“Memastikan apa? Imajinasi Tuhan dan segala tetek-bengek yang kau sampaikan tadi,” Aku mulai naik pitam.

“Kau lihat orang-orang ini!” Barangkali pengunjung kedai lain telah menganggapku hilang akal. Mereka menghentikan sejenak aktivitas mereka, lalu memusatkan perhatian pada pria yang saat ini sedang kesal pada gadis manis di depannya, “Mereka melihatku karena suaraku yang mulai meninggi, dan kenapa suaraku meninggi? Karena kesal dengan perkataanmu. Semua terjadi oleh sebab yang dilakukan oleh manusia. Ada aksi dan refleksi, ada awal, akhir dan proses, sebab dan akibat, alasan dan tindakan, bukan semacam gerakan otomatis tanpa sadar atas apa yang kita lakukan.”

“Kenapa kau kesal padaku?”

“Karena pikiranmu yang sok filosofis itu!”

“Kenapa pikiranku begitu sok filosofis?”

“Kamu yang tahu sebabnya, itu ada dalam pikiranmu bukan pikiranku.”

“Nah begitulah, kita hanya sekelompok ide yang immateri. Kita tidak berkehendak dan merasa seperti sosok yang mengimajinasikan kita.”

“Aku asli, Cahaya. Cangkir ini asli, saat aku memegang gelas ini, aku merasa bahwa aku nyata” aku mungkin sudah sama gilanya dengan Cahaya. Hanya karena dorongan ingin membuatnya sepaham dengan pikiranku, aku melakukan tindakan yang begitu bodoh, “Lihat Gelasnya jatuh, aku mempunyai kehendak untuk melakukannya.”

Rupanya tidak cukup. Kulihat Cahaya masih masa bodoh terhadap apa yang aku lakukan. Aku berjalan ke arah panggung yang terdapat di kedai kopi tersebut. Ku hentikan seorang pria dengan topi koboi yang sementara mendendangkan sebuah lagu Indie, “Lihat Cahaya! Lihat! Aku menyanyi karena aku mau, karena aku menginginkan ini, karena aku bebas memilih ini.”

Aku kembali ke kursi tempat aku duduk sebelumnya dengan Cahaya. Masih dalam posisi berdiri, aku marah sembari menunjuk-nunjuknya. Cahaya kemudian mengarahkan pandangannya padaku yang terus berteriak soal keinginannya menyudahi hubungan ini.

“Siapa laki-laki yang telah merebutmu hatimu? Siapa? Katakan, Cahaya! Katakan! Kau begini karena kau telah mencintai lelaki selain aku, Benar kan?”

“Kau tahu yang menyebabkan kau melakukannya? Menjatuhkan cangkir, bicara di microphone lalu sekarang marah-marah?” kata Cahaya dengan nada yang sangat datar.

“Jangan mulai lagi mencocok-cocokan logikamu! Oh, Tuhan!”

“Yah benar, Tuhan lah yang—“

Aku menampar Cahaya sebelum ia dapat menyelesaikan kalimatnya. Pipinya merah. Kepalanya masih menghadap samping, dengan tangan yang terus ia tempelkan di wajahnya.

“Aku bebas. Kita bukan Cuma sekedar imajinasi ilahi yang mengawang-ngawang dalam pikiran sang pencipta. Aku dan juga rasa sakit itu adalah ciptaannya yang nyata. Apakah kau akan diam dan menunggu saja pikiran-Nya akan terganti dan tiba-tiba kau sudah berada di kamar, atau kau akan sadar, dan mulai berpikir untuk mencari tumpangan lain untuk pulang. Bye!”

* * *

Awal September yang tandus. Mataharinya menyengat tak seperti biasanya. Asap knalpot dan pasir-pasir halus berterbangan, membuat mata pengendara sepeda motor perih. Dari arah pantai kilo 5, pantai iconic di pusat kota Luwuk, kuperhatikan mata hari bakal lama untuk terbenam. Mungkin ia takut untuk menyatu dan memeluk mesrah bumi yang kian lama, kian panas akibat pemanasan global.

Sudah hampir tiga puluh menit, aku memandang matahari dari balik kacamata hitam yang tebal, tetapi belum menemukan kata yang tepat untuk memulai cerita pendek ku tentang senja. Ah, barangkali karena aku kurang pengalaman dengan senja. Sedari kecil, Luwuk tidak memberikanku tontonan demikian. Pantainya yang indah tidak menggelar atraksi semacam itu. Senja selalu bersemayam di balik gunung-gunung, bukan samudera.

Aku mulai saja menulis tentang Cahaya-nya saja, karena matahari dari tempatku duduk saat ini kurang memberi inspirasi. Cahaya yang jatuh cinta pada seorang lelaki bernama Burhan. Aku ingin Cahaya selamanya bersama Burhan. Kisah cinta mereka berakhir bahagia, dimana Cahaya melahirkan anak-anak Burhan yang pintar dan lucu. Tetapi Burhan tidak sesempurna yang dibayangkan Cahaya, ia posesif dan juga impulsif.

Sebagai Tuhan dari tokoh-tokoh yang aku ciptakan, aku tidak tega membuat Cahaya menjalani kehidupan dengan pria semacam Burhan, tetapi ah mau bagaimana lagi, bagaimanapun aku seorang pria, sama seperti Burhan. Aku tidak mau Burhan jadi penyebab hancurnya hubungan mereka. Biarkan saja aku yang disalahkan. (*)