CerpenSastra

Mehe-mehe’on

Karya, Suparman Tampuyak

 

Di Kampung Saluan, dikenal tiga pemuda yang bersahabat sangat kental. Ketiga sahabat tersebut tidak pernah berpisah dan kemanapun selalu bersama-sama. Mereka saling menolong jika ada salah satu diantara mereka mengalami kesusahan atau mempunyai pekerjaan berat. Mereka selalu menolong orang-orang yang mengalami suatu keadaan sulit teratasi. Tidak salah, jika ketiga pemuda ini sangat disayangi oleh masyarakat kampung.

Pemuda-pemuda tersebut adalah Mehe’on, Tajom Bolok, dan Pala Daka. Dijuluki Mehe’on karena pemuda yang satu ini mengalami kelainan pada mata. Matanya selalu mengeluarkan lendir halus dan menempel di kelopak matanya. Julukan Pala Daka karena pemuda ini mempunyai telapak tangan sangat besar dan kekar. Sedangkan Tajom Bolok, di bagian pantatnya terdapat tulang ekor yang agak panjang dan tajam

Suatu ketika, pada siang hari, mereka merencanakan pergi memancing ikan.

“Pala Daka, bagaimana kalau kita pergi memancing?” tanya Mehe’on kepada kedua sahabatnya.

“Mengapa engkau tiba-tiba ingin pergi memancing?” Pala Daka balik bertanya.

“Iya, benar pertanyaanmu, Pala Daka,” sambung Tajom Bolok.

“Begini,” sambung Mehe’on sambil mengambil posisi duduk di atas akar pohon mangga, “coba kalian perhatikan beberapa hari terakhir ini. Kampung kita mulai kekurangan ikan. Ibu-ibu saling berebutan membeli ikan. Beberapa padola kadangkala susah mendapatkan ikan yang akan mereka jual kembali.”

“Saya paham,” seru Tajam Bolok dan Pala Daka hampir bersamaan.

“Jadi, bagaimana?” tanya Mehe’on.

“Ya, jadi,” sahut Pala Daka.

“Kalau begitu, kita meminjam perahu Tatu Unge. Selama ini perahu Tatu Unge terkenal anti bocor dan stabil di tengah lautan,” sambung Tajom Bolok.

Singkat cerita, nampaklah mereka pada keesokan pagi di rumah Tatu Unge. Setelah cerita sana-sini, Mehe’on langsung menyampaikan maksud kedatangan mereka.

Tabea, Tatu Unge. Kami ke sini, sebenarnya ingin meminjam perahu.”

“Untuk apa?” tanya Tatu Unge.

“Bee … Yo asi untuk memancing di laut, Tatu Unge,” jawab Pala Daka yang bingung dengan pertanyaan Tatu Unge.

“Baa … maaf Mehe’on. Saya sangat sayang dengan perahu ini. Bukan saya tidak meminjamkan kepada kalian. Tapi, saya takut perahu ini bocor.”

“Bukankah perahu Tatu Unge terkenal anti bocor?” tanya Tajom Bolok.

“Iya, perahuku anti bocor. Tetapi, kau, Tajom Bolok ikut juga memancing disitulah kebocorannya.” jawab Tatu Unge.

Pala Daka dan Mehe’on menahan tawa jangan sampai Tajom Bolok tersinggung.

Tajom Bolok tak bisa berkata apa-apa untuk meyakinkan Tatu Unge. Dia menyadari dirinya bisa menjadi penyebab kebocoran perahu. Akan tetapi, Mehe’on tak kehilangan kata-kata.

“Tatu Unge, perahumu tidak akan bocor karena Tajom Bolok. Dia saya perintahkan terus berdiri di atas perahu dan bertugas memantau keadaan laut dan posisi ikan selama kami memancing.”

“Baiklah,” jawab Tatu Unge, “tapi kalian harus ingat. Jikalau perahuku bocor, kalian bertanggung jawab dan tak ‘kan kupinjamkan selamanya. Nah, perahuku berada di muara Uwe Buk dan tertambat di pohon kolopisok,”  lanjut Tatu Unge.

“Terima kasih, Tatu Unge,” jawab mereka hampir bersamaan.

Ketiga sahabat tersebut langsung meninggalkan rumah Tatu Unge dengan suasana riang gembira. Mereka pulang menyiapkan peralatan dan bekal makanan selama memancing. Mehe’on menyiapkan kala umang untuk umpan ikan. Sementara Pala Daka menyiapkan alat pancing. Dan Tajom Bolok diberi tugas menyiapkan bekal berupa makanan selama mereka memancing.

Mehe’on, Pala Daka, dan Tajom Bolok nampak di muara Uwe Buk. Mereka memuat dan mengatur segala perlengkapan dan bekal memancing di atas perahu. Tidak lama kemudian selesailah persiapan mereka.

“Tolong lepaskan ikatan perahu itu. Setelah ikatannya lepas, kau bersama Pala Daka dorong perahu ini,” perintah Mehe’on kepada Tajom Bolok sambil menunjuk ke arah pohon kolopisok.

“Baiklah,” jawab Tajom Bolok.

Setelah melepaskan ikatan perahu, Tajom Bolok dan Pala Daka mendorong perahu agar mengapung dengan baik.

Tidak lama kemudian ketiga sahabat ini telah berada di atas perahu. Mehe’on dan Pala Daka mendayung dengan semangat. Tajom Bolok, sesuai perintah Mehe’on, berdiri tegak di atas perahu. Kini mereka telah berada di lautan.

“Jadi, berdasarkan cara pandangmu. Dimana posisi yang tepat untuk memancing?” tanya Mehe’on kepada Tajom Bolok.

“Di sana posisi yang tepat,” jawab Tajom Bolok, “kita harus mendayung perahu ke posisi antara Mondonun dan Solan.”

“Bagaimana, Pala Daka?” tanya Mehe’on.

“Mainkan …! Dayung …!” sambung Pala Daka.

Mehe’on dan Pala Daka mendayung dan mengarahkan perahu mereka ke arah posisi antara Mondonun dan Solan. Tepat pada posisi antara Mondonun dan Solan, Mehe’on dan Pala Daka  menyiapkan alat pancing dan selanjutnya umpan pertama diluncurkan ke dalam laut.

Petunjuk Tajom Bolok tidak meleset. Tidak menunggu lama, umpan pertama langsung membuahkan hasil. Mehe’on berhasil memancing ikan yang ukurannya lumayan besar. Begitupula dengan Pala Daka juga berhasil memancing ikan yang hampir sama ukurannya dengan ikan Mehe’on.

Mereka bertiga asik memancing dan tanpa mereka sadari waktu mendekati malam. Perahu Tatu Unge hampir penuh dengan ikan.

“Mehe’on, Pala Daka. Ayo, cepat kita pulang waktu mulai malam. Dan perhatikan arah pulang, kelihatan awan hitam yang disertai badai akan datang,” kata Tajom Bolok.

Kedua sahabat Tajom Bolok langsung mendayung dan mengarahkan perahu ke Kampung Saluan. Akan tetapi, keadaan alam tak pernah disangka. Awan hitam bergerak cepat disertai badai kencang. Nampak perahu yang ditumpangi ketiga sahabat tersebut terombang ambing disapu badai dan ombak.

Pada situasi cuaca yang tidak baik, Tajom Bolok menyarankan kepada kedua sahabatnya.

“Sebaiknya kita berlabuh dekat muara Sungai Mondonun karena keadaan alam yang tidak bersahabat,” kata Tajom Bolok.

“Tidak. Kita harus pulang karena waktu mulai malam,” balas Pala Daka.

Mehe’on menyetujui pendapat Pala Daka. Akhirnya mereka memilih pulang dengan resiko bertemu badai dan ombak yang lebih dahsyat.

Saat perjalanan pulang, mereka benar-benar bertemu badai dan ombak yang lebih dahsyat dibanding badai dan ombak sebelumnya. Perahu Tatu Unge menari-nari di atas gelombang dan kelihatan hampir karam.

“Kita benar-benar disapu oleh badai,” teriak Tajom Bolok, “apa yang kukatakan tadi benar.”

“Jangan saling menyalahkan pada situasi seperti ini,” sahut Mehe’on, “lakukan apa yang terbaik. Pala Daka, dayung sekuatnya!”

“Iya, tapi perahu hampir karam,” teriak Pala Daka.

“Pala Daka! Karena tanganmu besar, kuras air laut yang masuk ke perahu!” perintah Mehe’on.

“Iya, aku akan mengurasnya. Tapi, siapa yang mendayung?” seru Pala Daka.

“Tajom Bolok, kau ganti tugas Pala Daka. Biarlah Pala Daka yang menguras air laut. Kau dan aku bertugas mendayung perahu ini,” perintah Mehe’on kepada Tajom Bolok dan Pala Daka.

Tajom Bolok yang mendapat perintah dengan cepat mengambil pendayung dari tangan Pala Daka dan langsung menghempaskan pantatnya di lantai perahu. Akibat Tajom Bolok menghempaskan pantatnya, bocorlah perahu Tatu Unge. Masalah baru pun  datang. Perahu bocor dan air laut masuk ke perahu.

“Tajom Bolok, jangan duduk! Lihat karena ulahmu. Perahu Tatu Unge bocor,” teriak Pala Daka, “air semakin deras masuk ke perahu.”

“Bukan salah saya,” jawab Tajom Bolok sengit, “Si Mehe’on yang memerintah saya mendayung perahu, dia yang salah. Tidak mungkin, saya mendayung sambil berdiri tegak. Bukan main. Lama-lama saya buang ini pendayung.”

“Kalau begitu, kau jongkok sambil mendayung!” seru Mehe’on.

Atas perintah Mehe’on, Tajom Bolok mengambil posisi jongkok.

Lagi-lagi gulungan ombak besar menyapu perahu Tatu Unge. Perahu oleng dan Mehe’on hampir terjungkal dari perahu. Sementara, Pala Daka terlempar ke arah Tajom Bolok yang sedang mendayung perahu. Karena dalam posisi jongkok, Tajom Bolok terhempas kembali di lantai perahu. Bertambahlah lubang di perahu. Air laut pun semakin deras masuk.

Pala Daka semakin marah kepada Tajom Bolok karena air semakin deras masuk ke perahu. Pala Daka bersusah payah menguras air laut dari dalam perahu tapi sia-sia.

“Tajom Bolok…! Coba lihat karena ulahmu perahu dipenuhi air laut dan kita akan tenggelam,” hardik Pala Daka.

“Bukan salah saya. Komiu, yang mendorong saya sehingga saya terhempas. Jangan sembarang bicara!” balas Tajom Bolok sengit kepada Pala Daka.

“Tidak usah bertengkar…! Mari kita pikirkan agar perahu ini tidak kebanjiran air!” kata Mehe’on kepada kedua sahabatnya,

Kedua sahabatnya terdiam. Tajom Bolok dan Pala Daka tidak angkat bicara. Pala Daka sibuk menguras air sedangkan Tajom Bolok tetap mendayung sambil jongkok. Sementara badai dan gulungan ombak belum berhenti menyapu perahu Tatu Unge. Air kembali masuk ke perahu. Mereka bertiga semakin panik. Air dalam perahu kembali penuh.

Tiba-tiba Tajom Bolok berdiri seolah-olah seperti mendapat ide dan berteriak kepada Mehe’on yang sedang menguras air. “Mehe’on, tampal lubang di perahu ini!”

“Tampal dengan apa? Kita tidak membawa penampal perahu,” kata Mehe’on.

“Tampal dengan mehe yang menggumpal di kedua matamu itu! Ayo cepat Mehe’on,” perintah Tajom Bolok kepada Mehe’on.

Secepat kilat Mehe’on menempelkan gumpalan mehe pada kedua lubang perahu. Airpun berhenti masuk melalui kedua lubang tadi. Sementara Pala Daka masih terus menguras air yang menggenang di dalam perahu. Lambat laun air dalam perahu dapat dikuras habis. Ketiga sahabat itu merasa lega. Seiring pula dengan cuaca yang berangsur membaik dan Kampung Saluan sudah nampak di depan mata mereka.

Sambil mendayung perahu, Tajom Bolok bertanya, “Ikan kita mana?

“Ikan sudah dibuang ke laut karena perahu kelebihan muatan. Jika tidak dibuang, perahu akan tenggelam,” jawab Pala Daka.

“Bukan main. Jadi, tidak ada ikan yang kita bawa pulang,” sambung Tajom Bolok dengan rasa kecewa dan tanpa sadar menghempaskan pantatnya ke lantai perahu. Perahu kembali bocor dan air kembali masuk ke perahu.

“Tajom Bolok. Kau bikin bocor lagi perahu!” teriak Mehe’on.

“Bah, Tajom Bolok. Selalu kau yang membuat ulah,” sambung Pala Daka, “ujung-ujungnya saya yang menguras air.”

“Tenang. Ada Mehe’on. Sekali usap aman bocor,” jawab Tajom Bolok, “ayo Mehe’on, tampalkan sekali lagi mehe di lubang perahu itu.”

Mehe’on menuruti perintah Tajom Bolok. Airpun kembali berhenti masuk ke perahu.

“Tapi, Tajom Bolok. Kau berdiri saja tidak usah mendayung. Perhatikan saja arah perahu, kita makin mendekati Kampung Saluan,” kata Mehe’on.

Akhirnya ketiga sahabat ini berlabuh kembali di Kampung Saluan tepatnya di Uwe Buk. Mereka bertiga menambatkan dan mengikatkan kembali perahu Tatu Unge di pohon kolopisok. Rasa lega nampak di wajah mereka walaupun tidak membawa pulang ikan.

Tanpa mereka ketahui, Tatu Unge telah berdiri di samping perahunya.

“Pala Daka, Tajom Bolok, dan kamu Mehe’on. Mengapa ini mehe menempel di perahuku?” tanya Tatu Unge.

Tiba-tiba angin kencang dan hujan deras datang. Mereka bergegas pulang ke rumah masing-masing. (*)