CerpenSastra

Berkah Perut Ikan

Karya, Suparman Tampuyak

 

Alkisah, dahulu kala terdapatlah dua orang pemuda bersahabat karib. Kedua pemuda tersebut adalah  Geo dan Hodi. Mereka berdua belum mempunyai pekerjaan tetap. Kadangkala mereka mencari kayu atau mengail ikan untuk dijual. Pekerjaan yang dilakukan oleh kedua pemuda ini semata-semata untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pekerjaan yang dilakukan hari ini, hasilnya untuk makan hari ini juga.

Pada suatu hari, kedua pemuda ini memutuskan untuk pergi melaut. Akan tetapi, keduanya tidak mempunyai alat mengail ikan apalagi perahu.

Hodi dan Geo berpikir bagaimana cara agar mendapat perahu dan alat memancing. Teringat oleh mereka untuk meminjam pengail dan perahu kepada Babo Ise. Saat itu pula pergilah mereka menemui Babo Ise yang sedang berada di tepi pantai. Sesampai di sana, bertemulah mereka dengan Babo Ise dan kedua pemuda itu menyampaikan maksud mereka untuk meminjam perahu dan pengail.

“Apa kabar Babo Ise?” tanya Hodi.

“Baik-baik saja,” jawab Babo Ise.

“Babo Ise, kami ingin meminjam sesuatu,” kata Geo.

“Apa yang kalian ingin cari?” tanya Babo Ise lagi.

“Kami mencari perahu,” kata Hodi.

Ebee…. Perahunya Babo Ise ini bagus sekali,” kata Geo tiba-tiba, “dan sebenarnya, kami berkeinginan meminjam perahu milik Babo Ise.”

Setelah mengetahui maksud kedatangan Hodi dan Geo, Babo Ise tidak langsung meminjamkan perahu dan pengail.

Bee…, kalau engkau Geo yang meminjam perahuku. Tidak juga tobat cuma tidak dua kali saya meminjamkan perahu,” kata Babo Ise.

Geo sedikit tertegun mendengar kalimat Babo Ise barusan.

“Maksud Babo Ise?”

“Begini Geo. Jika kau yang memakai perahuku, ada-ada saja kejadian terhadap perahuku. Kalau bukan pendayung yang hilang, pasti sema-sema yang patah atau pasti perahu bocor.”

“Itu kejadian dulu-dulu, Babo Ise.”

Bee…, tidak. Kejadian dulu atau sekarang tetap tidak kupinjamkan.”

“Jadi begini Babo Ise, saya yang akan bertanggung jawab seandainya perahu Babo Ise rusak,” sela Hodi.

“Kau yang bertanggung jawab, Hodi?” tanya Babo Ise dengan nada ragu-ragu.

“Iya, Babo Ise.”

“Kalau begitu, bawalah perahuku tapi jaga baik-baik jangan sampai rusak,” kata Babo Ise.

Pada saat itulah, Geo dan Hodi langsung bergegas mendorong perahu Babo Ise ke laut. Tiada berapa lama mereka mendayung perahu, sampailah di tengah lautan yang dianggap mempunyai banyak ikan. Tanpa menunggu lama Hodi dan Geo melemparkan kail. Akan tetapi, berkali-kali mereka melemparkan kail berkali-kali pula mereka gagal mendapatkan ikan. Sementara, mereka hampir seharian berada di tengah laut.

Geo putus asa karena persediaan umpan telah habis. Tetapi, Hodi tetap tenang karena masih mempunyai sebuah umpan. Saat umpan terakhir dilemparkan, Hodi sangat mengharap untuk mendapat ikan. Tiada berapa lama, umpan milik  Hodi disergap oleh ikan dan Hodi dengan sigap langsung menarik pengail. Seekor ikan berhasil didapatkan Hodi.

Hari mendekati malam, kedua sahabat ini memutuskan untuk segera pulang. Walaupun hanya mendapat seekor ikan, kedua sahabat ini merasa puas. Sesampai di tepi pantai, kedua sahabat ini menambatkan perahu dan bersiap pulang ke rumah masing-masing. Sebelum pulang ke rumah masing-masing, Hodi dan Geo berdebat. Hodi menginginkan kedua ikan tersebut dibagi dua. Sedangkan Geo menginginkan ikan tersebut dibagi rata.

“Karena kita hanya mendapatkan satu ekor ikan maka ikan ini harus dibagi dua. Kamu setengah dan saya setengah,” kata Hodi.

“Tidak.”

“Iya, ikan ini dipotong dua untuk kita berdua.”

“Tidak bisa. Ikan ini harus dibagi rata.”

Iyo, sama saja. Bagi rata dengan bagi dua sama saja. Kita berdua mendapat bagian yang sama banyaknya,” kata Hodi.

“Bukan begitu. Bagi rata artinya semuanya dapat bagian,” jelas Geo, “ayo, coba kita potong ikan ini menjadi beberapa bagian.”

Maka dipotonglah ikan tersebut menjadi beberapa bagian.

“Nah, sekarang mari kita bagi rata,” kata Geo, “kepala untuk kamu dan ekor untuk saya,” kata Geo.

“Jadi, saya hanya mendapatkan kepala ikan,” kata Hodi.

“Tunggu dulu, pembagian belum selesai. Babo Ise, perahu, pendayung, sema-sema, dan pancing masing-masing mendapat satu bagian,” kata Geo sambil menunjuk bagian-bagian ikan.

“Bagaimana mungkin? Saya yang berhasil mendapatkan ikan tapi hanya mendapat kepala ikan?” kata Hodi.

“Begini, semuanya mendapat satu bagian. Hanya kamu yang mendapat dua bagian. Ini bagian perut ikan untuk kamu karena kamu yang berhasil mendapatkan ikan ini. Adil kan?” jelas Geo.

“Adil, bagaimana?” jawab Hodi agak tegang, “tidak masuk akal sehat, masak sema-sema, pendayung, perahu, dan pancing mendapat jatah ikan. Ya, sudahlah. Mudah-mudahan sema-sema, pendayung, perahu, dan pancing jago membakar ikan.”

Akhirnya, Hodi menerima keputusan itu. Ternyata, cara pembagian ikan yang dilakukan oleh Geo semata-mata ingin menguntungkan dirinya sendiri karena beberapa bagian potongan ikan yang akan diberikan kepada Babo Ise, untuk perahu, pendayung, pancing, dan sema-sema, semuanya diambil oleh Geo.

Hodi dengan perasaan sedih campur kecewa pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, dia memandangi perut ikan dan kepala ikan. Betapapun kecewanya Hodi tetap mensyukuri hasil yang didapatkannya. Sesampainya di rumah, Hodi membersihkan kepala ikan dan perut ikan dengan rasa syukur.

Namun, saat membelah perut ikan betapa terkejutnya Hodi karena di dalam perut ikan terdapat sebuah cincin emas. Hodi sangat gembira setelah melihat cincin itu. Karena bukan hanya dilapisi emas, cincin tersebut bertahtakan berlian.

Keberuntungan Geo tak seberapa pantas dibandingkan dengan keberuntungan yang didapatkan oleh Hodi. Walaupun, hanya mendapat bagian kepala dan perut ikan, Hodi mendapat sebuah cincin yang bertahtakan berlian di dalam perut ikan.

Akhirnya, cincin itulah yang merubah kehidupan  Hodi. Mulai saat itulah, Hodi hidup lebih dari cukup sedangkan Geo tetap hidup dari hasil pekerjaan satu ke hasil pekerjaan lain.(*)