Hilang di Hutan
Karya, Hendra Alwarits
Beberapa orang Polisi memasang garis kuning di sekitar gubuk. Sementara yang lainnya menggotong tubuh yang sudah mulai membusuk dari dalam gubuk pertanda kejadian itu sudah hampir seminggu yang lalu. Banyak warga yang berkerumun ingin tahu siapa yang mati itu, namun tak ada yang mengenal sosok tersebut. Menurut analisa sementara, dia dibunuh oleh pemilik gubuk. Anehnya, kata Polisi, di tangannya ada sebilah parang. Tak ada tanda-tanda perkelahian serius, namun kepalanya retak oleh benda keras.
* * *
Lelaki itu tampak tergesa-gesa. Di pundaknya, ada sebuah keranjang penuh dengan bibit pohon. Sesekali langkahnya terseok. Maklum, tadi malam hujan turun dengan deras. Jalan yang hanya dapat dilalui satu orang itu menjadi berlumpur dan licin. Rerumputan rimbun di kiri dan kanan. Agak sulit melewatinya, apalagi bila harus berpapasan dengan orang lain. Sebenarnya ada jalan yang lebih lebar dan dapat dilalui kendaraan. Hanya saja sangat jauh karena harus memutari bukit dan menyeberangi satu sungai. Ia tak mau membuang banyak waktu. Lagi Pula ia tak memiliki kendaraan.
Sudah dua jam ia berjalan. Wajahnya tampak lelah. Bajunya basah oleh keringat. Ini kali ke-sekian ia membawa keranjang bibit itu. Meski begitu, langkahnya masih mantap menyusuri jalan setapak itu.
Karjo, lelaki paruh baya yang mencintai hutan. Ia merasa tugasnya adalah menjaga hutan. Bila ada yang gundul, Karjo melakukan pemulihan. Segera ia tanami kembali dengan bibit-bibit pohon jati dan sengon. Menurutnya, boleh berkebun tapi jangan menebang pohon-pohon besar. Hal yang tak disukai sebagian warga desanya.
“Jo, kamu itu mbok yo nyari kerja to. Ingkang mlebet penggalih*1 gitu lo.” Saran seorang warga yang tentu saja tak akan didengarnya.
“Mas No, buat apa punya pekerjaan dan bergaji, tapi njenengan*2 tak lagi peduli dengan hutan kita.”
Bagi sebagian warga desanya, Karjo adalah sosok pengganggu kebijakan Kepala Desa. Ia pernah terlibat cekcok masalah hutan yang mestinya tak bisa digarap. Oleh Kepala Desa, hutan itu dibebaskan begitu saja untuk perusahaan Logging. Katanya, mereka punya surat izin resmi. Hal ini tentu saja mengusik kepala Karjo. Sudah beberapa kali Ia melaporkan hal ini pada UPT Kehutanan, namun jawabannya sama saja. Yang ada, mereka hanya memberi buku dan bibit pohon untuk menenangkan hati Karjo.
“Nuwun inggih sampun, mboten usah*3 kamu ikut campur masalah ini, Jo. Toh surat izinnya ada.” Kata orang Kehutanan.
“Sayangipun kawula mboten mriksani.” *4 Jawab Karjo sedikit mengiba.
Karjo tak begitu menyukai kehadiran orang-orang baru di sekitarnya. Pernah beberapa hari yang lalu, dua orang yang kelihatannya dari kota bertanya alamat rumah Pak Kades padanya. Dirinya merasa risih lalu menjawab seadanya dan segera berlalu.
* * *
Ada sosok sekelebat di setapak di antara rimbun tumbuhan paku. Langkahnya cepat dan senyap, menyaru suara burung hantu dan bunyi jangkrik. Di bawah cahaya bulan, terlihat sosok itu adalah seorang lelaki yang berpakaian serba hitam. Lelaki itu memegang sebilah parang yang tak disarungkan. Di kepalanya, ada headlamp yang tak dinyalakan.
Cahaya lampu semprong dari sebuah gubuk berusaha memerangi keremangan. Seseorang tengah merebahkan tubuhnya di peraduan. Karjo yang baru saja selesai membaca buku dan berencana tidur itu, tiba-tiba terkejut mendengar bilah lantai bambu gubuknya berderit disusul bunyi dobrakan pintu yang terbongkar. Seorang lelaki melompat dan mengayunkan parang ke arahnya.
“Mati kau!”
Karjo tidak siap, ujung bilah parang itu merobek bahu kirinya, lalu tertahan di tiang gubuk. Karjo terluka. Sebisa mungkin, Ia mendorong tubuh lelaki tersebut sebelum sempat menebasnya lagi. Sementara tangan Karjo berusaha meraih sebatang kayu api. Dengan cepat ia mengayunkannya ke arah kepala orang itu.
“Bugg!” Kayu api Karjo mengenai sasaran.
“Ughh!”
Beberapa kali dihantamnya kepala orang itu. Lalu, tak ada lagi suara. Tak bergerak. Karjo menangis ketakutan. Ia melompat dari gubuk dan berlari sekuat tenaga menyusuri setapak, dan menghilang di antara pepohonan dan belukar. Bulan yang tadinya terang, kini tertutup awan hitam. Gelap.
* * *
Kromo Inggil
- Ingkang mlebet penggalih : yang masuk akal.
- Njenengan: Anda (untuk yang lebih tua atau dihormati)
- Nggih sampun, mboten usah … : ya sudah, tidak usah …
- Sayangipun kawula mboten mriksani : tapi saya belum melihat bentuknya seperti apa (surat itu).