Kasih dari Dasar Neraka
Karya, Abdy Gunawan
Tubuhku bergerak begitu cepat bersama kilatan cahaya yang menyilaukan mata. Aku dalam keraguan dan ketidakpastian iman. Dimana aku berada ? apakah lapisan-lapisan langit yang ku lewati tadi telah mengantarkanku menuju yang maha kuasa ? Atau ini hanya ilusi ? khayalan yang terasa begitu nyata, hingga keringat serta air mata kini berpadu menjadi cairan hitam bernama kesengsaraan. Yah, kesengsaraan, yang meski akal berkata ini mimpi, nurani menepis dan bilang aku sudah mati.
Malaikat, bidadari, dewa, peri atau apapun sebutan manusia untuk mereka. Aku tidak peduli lagi. Tidak etis bagi ruh untuk mendefinisikan dan membeberkan teori mengenai wujud dan bentuk, toh aku tidak lagi berwujud. Aku hanya tinggal dendam dan luka yang hilir-mudik di alam baka. Mencari alasan mengapa aku harus berakhir dengan tegukan racun dalam lambung ku.
Macam-macam rupa makhluk yang berpapasan denganku disini. tidak ada yang tersenyum, bahkan terkesan jijik untuk menyapa. Seringkali ku dengar wanita-wanita telanjang dengan sayap putih di punggung mereka berkata, “TOLOL! DASAR TIDAK TAHU BERTERIMA KASIH!”, sedangkan pria-pria bertanduk dengan kemaluan raksasa yang bergelantungan kesana-kemari tak henti-hentinya memujiku, “ANAK PINTAR! SELAMAT BERGABUNG”. Entah bagaimana aku harus bersikap. Apakah aku harus berterima kasih atas pujian laki-laki bertanduk atau marah atas makian perempuan bersayap itu.
Aku menatap ke atas, ada jalan terbuat dari cahaya yang selalu dilalui banyak orang. Ada paman, bibi, tetangga dan orang-orang yang kukenal. Wajah mereka bercahaya, tersenyum senang didampingi perempuan bersayap dengan gaun putih yang panjang menjulur kebawah hingga hampir mengenai batang hidungku.
“Ke mana mereka?” malaikat tersebut hanya menoleh ke bawah kemudian kembali memalingkan wajah. Menuntun para ruh tadi dengan ucapan-ucapan lembut, setengah berbisik mesrah yang bahkan akupun ingin mengikutinya menuju sebuah pintu yang entah kemana.
“Jangan mimpi!” sapa ruh kurus, keriting dengan bola mata yang hampir keluar dari dalam rongga matanya, “kalau bukan kesana, yah kitanya disini”.
Perkataannya membuatku melihat sekeliling. Kembali memastikan di mana aku berada sekarang. Akalku yang tak lagi terbungkus rapi di dalam organ bernama otak hanya mengingat sebuah ruangan, kamar kos tepatnya, tempat diriku mengakhiri raga yang tak lagi terjamah kasih ini.
“Kasih?” kini aku mengingatnya. Alasan Aku mendahului takdir Tuhan sebagai penentu ajal seseorang. Aku mengalahkannya. Sejenak aku tersenyum dan merasa berkuasa. Lalu kembali takut saat lidah api di sekitarku menjamah kulitku.
“Panas!” memang benar apa kata Firman Tuhan. Tempat ini panas. Sebuah indikasi kuat dan memudahkanku mengambil kesimpulan di mana sekarang aku berada.
Hah sudahlah, Aku sudah terbiasa melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Biarlah para pendatang yang terus-terusan masuk kesini dengan sebab yang berbeda satu-sama lain menyesal, sedih bahkan menangis tersedu-tersedu. Aku tidak demikian, setidaknya aku harus mencari kambing hitam saat nanti Tuhan bertanya kenapa aku bunuh diri.
“Apakah kau tahu di mana Tuhan berada ?”
“Aku tahu! Tetapi aku tidak memberitahukannya padamu” Jawab lelaki kurus yang dari tadi berada di sampingku.
“Kenapa?”
“Karena aku sendiri belum pernah bertemu dengannya”
“Siapa dirimu ?” kataku sambil menelanjangi tubuhnya lewat tatapan ku yang penuh tanya.
“Aku adalah alasan dirimu kemari”
“Cinta?”
“Iya aku adalah Cinta”
“Pembohong!” aku memasang wajah kaget tak percaya. Berlapis kaos yang telah meleleh perlahan akibat panas yang luar biasa, aku mencoba mendekat.
Memperhatikan rupanya yang seperti gelandangan tua, “Kenapa cinta berada di neraka ? dan mengapa rupamu seburuk ini ?”
“Begitulah keinginan Tuhan nak! Dia menghukum Cinta sebagai biang keladi atas semua kejahatan yang terjadi di dunia”
“Benarkah begitu ? bagaimana dengan rupamu yang seperti ini ? bukannya cinta merupakan simbol keindahan dan estetika ?”
“Ini kutukan juga dari Tuhan, aku kurus karena tidak ada lagi satu manusia-pun yang memberiku makan dengan perhatian dan kelembutan, selalu saja mereka meminta, mengharap bahkan aku dipaksa untuk melayani kepuasaan mereka”
Aku mengangguk serta kasihan melihat cinta dalam rupa kake tua tak berdaya ini. Jadi beginilah misteri mengapa cinta selalu berakhir luka. Karena memang ia sengaja diciptakan untuk menimbulkan tirani.
Sudah disini mau bagaimana lagi. Biarpun aku hanya seorang ruh yang siap dipanggang hidup-hidup di atas bara api yang menyala merah, setidaknya jiwa seorang aktivis kampus akan tetap bereaksi saat ada kejanggalan terdeteksi. Aku tetap butuh klarifikasi dari Dia yang katanya maha mengasihi.
“Permisi! Aku mau bicara dengan Tuhan?” sapaku kepada malaikat yang paling terang cahayanya di antara yang lain. Bajunya begitu Indah dengan sepasang sayap raksasa melekat kuat di punggungnya. Aku rasa dia adalah pemimpin malaikat, peri, dewa atau entah apa manusia semasa aku hidup menyebutnya, menjadikan mereka lambang kebajikan dan perpanjangan tangan Tuhan.
“Apa yang ingin kau katakan padanya ?” tanya malaikat tersebut dengan sangat ramah, sampai-sampai aku harus menghalangi kedua mataku dari pantulan cahaya disela-sela giginya.
“Aku akan menjadikannya kambing hitam atas segala yang terjadi padaku”
“Beraninya kau!” secara literal memang ada sedikit ancaman dalam perkataan malaikat tersebut. Tapi desah nafas dan senyumnya yang tak henti-hentinya terukir, bikin hatiku malah ingin terus bersilat lidah dengannya.
“Aku sudah mendengar semuanya. Aku berani. Cinta bersamaku sekarang” Aku menunjuk lelaki tua yang kupikir tadi berada di belakangku.
“Cinta? mungkin maksudmu Nafsu, coba lihat baik-baik.”
Aku menoleh ke belakang. Tidak ada lagi kakek renta yang dengan kebijaksanaan nya membuatku menjustifikasi kebijakan Tuhan. Kini ia berubah menjadi ular raksasa dengan tanduk besar yang perlahan tertelan oleh lidah api.
“Tenanglah!” bujuk malaikat itu ketika melihat tubuhku gemetar, “bukan hanya kau yang ia tipu, bahkan Adam dan Hawa Pun diusir dari surga karena rayuannya.
“Jika ia nafsu, maka siapakah cinta yang sebenarnya? Kau?”
“Oh bukan, Cinta adalah Ia yang kau katakan kambing hitam barusan. Aku sama halnya denganmu, tercipta karena cinta-Nya”
Badanku tiba-tiba lemas, jantungku terasa berhenti berdetak, apa ini ? Bahkan ruh sepertiku masih bisa merasakan detak jantung dan mungkin akan mati untuk kedua kalinya, “Bolehkah aku bicara dengannya ?” pintaku memelas.
“Kau tidak bisa melakukannya”
“Kenapa?”
“Karena kau harus mati terlebih dahulu” Belum sempat aku mencerna kalimat terakhir yang disampaikan malaikat itu, mataku terbuka, menatap keadaan kamar kos yang berantakan. Kepalaku terasa pusing, masih mencoba menafsirkan mimpi yang aku alami barusan.
Buku-buku berserakan, botol berisi cairan pembersih jendela yang sudah kuteguk setengahnya terletak di samping kasur ku. Untung saja, aku hanya pingsan dengan bumbu berupa bunga tidur yang membuat air mata tak sengaja menetes.
Surat yang kutulis semalam sudah ku buang di tong sampah. Berharap pemilik kos tidak menemukan pesan kematianku dan menganggapnya serius. Pukul 22.00, aku mengecek pesan singkat terakhir yang dikirimkan pacarku tadi sore, permintaan putus yang saat ini entah mengapa aku hanya tersenyum membacanya. Tiba pada bagian dimana aku mengancam akan bunuh diri, malah sudah kulakukan tapi belum membuahkan hasil. Aku malah tertawa geli sambil menekan keypad smartphone Android milikku.
“Halo Susi?”
“Halo, kamu jadi mati Bambang ?”
“hahaha belum” aku tertawa. Aneh untuk seseorang yang baru mengalami patah hati
“Kamu tidak apa-apakan ?” tanya Susi dengan Intonasi yang berusaha menciptakan kesan bahwa aku dan dia sekarang tidak lebih dari sekedar teman.
“Iya aku baik-baik saja, maaf sebelumnya udah kasar ke kamu.”
“Untunglah, soalnya dari tadi HP kamu nonaktif, aku sangat khawatir dan yang bisa kulakukan hanya berdo’a kepada Tuhan”
“Oh selamat kalau begitu, Cinta mengabulkan doamu.”
“Cinta?”
“Iya, dan ia ingin bertemu denganmu”
“Apa maksudmu?” tanya susi bingung.
Tidak ada jawaban dariku. Hanya senyum dan tatapan penuh kasih yang balik ia sambut dengan tawa kecilnya yang khas, manis, lengkap dengan lesung pipit bak bulan sabit itu.
Ku ambil pisau lipat dalam saku celana jeansku. Mengkilap, memantulkan cahaya lampu taman, tempat aku dan susi bertemu saat ini. Ku gorok leher susi berkali-kali. Dia berteriak kesakitan, tapi hanya kubalas dengan cibiran.
“Aku mencintaimu Susi. Aku gagal bertemu dengannya karena masih hidup. Tolong tanya pada Cinta, apa pendapatnya tentang perselingkuhanmu,” Akhir kataku, setelah ku kubur jasad Susi. (*)