Berita

Soal Kerusakan Jembatan Luksagu-Tatakala, Wakil Ketua II DPRD Bangkep : Kami Tidak Tidur 

Kordinasi Terbuka Soal Jembatan Luksagu-Tatakalai : Wakil Ketua I, Moh. Risal Arwie dan Wakil Ketua II DPRD Bangkep Eko Wahyudi, melaksanakan kordinasi terbuka bersama Dinas PU dan Pewarta Bangkep, Senin (26/10). [FOTO : RIFAN/LUWUK POST]
SALAKAN, LUWUK POST-Belakangan, Pemerintah Kabupaten dan DPRD Banggai Kepulauan (Bangkep) menjadi bulan-bulanan nitizen media sosial terkait kerusakan jembatan Luksagu-Tatakalai Kecamatan Tinangkung. Menanggapi itu, Wakil Ketua II, Eko Wahyudi menyebut anggota DPRD tidak tidur.

Jupri Hermawan, ketua DPD Hanura Bangkep, via akun facebook miliknya, ‘Juprie Hermawan’, Senin (26/10) mengajak masyarakat berkumpul di Jembatan itu untuk tidak membiarkan kendaraan plat merah dan kendaraan anggota dewan melewati jembatan tersebut.

“bsk sy Juprie Hermawan Ketua DPC Partai HANURA Bangkep mengajak seluruh RAKYAT Bangkep utk berkumpul di TKP Jembatan Luksagu utk meminta kendaraan plat merah & kendaraan Aleg DPRD Bangkep utk tidak melewati JEMBATAN INI,” kata Jupri dalam statusnya.

Menurut dia, aksi yang dilakukannya itu bukan bagian dari provokasi, melainkan bentuk aksi kepedulian agar pemerintah daerah mengambil langkah konkrit. Sebab terkait kerusakan jembatan itu, sudah berulang kali disuarakan melalui status di media sosial.

Menanggapi status di media sosial terkait jembatan, Eko Wahyudi menilai informasi yang disebarkan sejumlah pihak, terkait jembatan itu tidak berimbang. Informasi itu ditafsirkannya, seolah hendak ingin menyampaikan bahwa DPRD tidak pernah bekerja, dan tak peduli dengan kerusakan jembatan.

“kerusakan jembatan tersebut bukan nanti kali ini disuarakan masyarakat. Sudah hampir tiga tahun belakangan,” kata Eko di depan wartawan di ruang Komisi II DPRD Bangkep, Senin (25/10).

Menurut dia, perlu diketahui, bahwa dirinya bersama Waket I, serta aleg lain yang berasal dari dapil sana (Dapil II), sejak tahun 2021 telah menguusahakan alokasi anggaran pemeliharaan, sebesar Rp. 200.000.000. Anggaran itu diakuinya, diusulkan olehnya sendiri.

Tak hanya itu, Eko juga menyebut ada anggaran perencanaan, yang seingat dia, disampaikan hanya sebesar Rp. 100.000.000 dari Dinas PU. Tetapi, pihaknya kemudian menambahkan sebanyak Rp. 250.000.000. Jadi, totalnya, Rp. 350.000.000.

“Kenapa mahal, waktu itu saya tanya, karena sondirnya, kalau tidak salah satu titik sampai 50 juta rupiah. Itu untuk lima tahun lalu. Saya baru-baru ini dimintakan lagi, sampai 500 juta rupiah. Kenapa sudah sangat mahal? Rupanya, sondir jembatan sudah capai 90 juta pertitik,” bebernya.

Jadi, menurut dia, sejak 2021, anggaran untuk jembatan itu sudah ada. Tapi karena merujuk pada rekomendasi KPK kepada Gubernur sebelumnya. Dalam rekomendasi, KPK meminta agar pelaksanaan APBD mengacu pada RAPBD. Bukan dari kesepakatan.

Sehingga kesepakatan DPRD bersama Dinas PU terkait usulan anggaran untuk jembatan bertentangan dengan rekomendasi KPK kepada Gubernur. Alhasil, realisasi pemeliharaan, kandas. Karena, yang menjadi rujukan penyusunan Perda APBD adalah RAPBD.

Eko tegas mengakui, bahwa pihaknya telah berkali-kali mempertanyakan keberadaan anggaran pemeliharaan dan perbaikan jembatan itu ke Dinas PU. Bila tidak ada, pihaknya akan mengusulkan anggaran di APBD Perubahan tahun 2021.

“Ini ada orang dari Dinas PU, jangan nanti dibilang wakil ketua dua, hanya omong kosong, cerita hoaks, dan sebagainya. Bahkan, saya pernah bawa pak camat untuk menelponnya,” ujar Eko, di depan kepala Seksi Preservasi Bidang Bina Marga.

Eko mengungkapkan, dirinya pernah mendengar bahwa untuk memperbaiki kerusakan jembatan, masyarakat hendak melakukan swakelola. Tapi karena informasi dari PU menyebut sudah ada anggaran sebesar Rp. 700.000.000 yang dimasukkan dalam Dana Tanggap Darurat.

Sehingga dirinya membatalkan niat mengusahakan anggaran di APBD Perubahan tahun 2021. Tapi dana sebesar itu, sebagian dialokasikan untuk perbaikan Plat Deker di Labasiano.

“Kami mengklarifikasi ini untuk menjawab anggapan dari teman-teman yang menyebut bahwa kami tidur di DPRD. Kami juga melihat jembatan dengan plat deker yang ada di Labasiano,” ucap dia.

Olehnya itu, berdasarkan informasi yang tidak berimbang itu, pihaknya meminta kepada wartawan dan dinas PU untuk menjelaskan langsung kepada masyarakat, bahwa DPRD sudah bersuara terkait itu.

Meski begitu, sekuat apa pun upaya pihaknya mengusulkan anggaran, eksekusi tetap ada di tangan Bupati. Sehingga dirinya mengaku sempat menelepon Bupati terkait kerusakan jembatan itu.

“Yang perlu dipahami, bahwa kami DPRD hanya sebatas penganggaran dan pengawasan. Eksekusinya, ada di sebelah (Bupati). Pak Bupati, terakhir mengirim foto-foto kayu, material jembatan yang dititip di Babinsa Tinangkung Selatan,” tutur Eko.

Terkait waktu pelaksanaan perbaikan jembatan, Eko meminta pihak media untuk menanyakan langsung hal itu, kepada Kepala Seksi Preservasi Bidang Binamarga Dinas PU, Siksanto yang diutus untuk memenuhi panggilan wakil ketua I dan II.

“Sekali lagi kami menegaskan, bahwa kami di DPRD tidak tidur. Dari 2019 kami dilantik, 2020 kami sudah menganggarkan perbaikan itu ke eksekutif untuk dilaksanakan di tahun 2021. Tapi itu tadi, tidak ada ruang untuk kesepakatan dalam dokumen APBD,” tukas Eko.

Sementara itu, Siksanto menjelaskan, biaya sebesar Rp. 500.000.000 panganan bencana ada di kegiatan PU sebelumnya. Anggara itu diproyeksikan untuk tiga kegiatan.

Adapun kegiatan itu yakni Penanganan Box Culvert Labasiano sebesar Rp. 200.000.000, Jembatan Takatali Tiga yang di Luksagu, Rangka Baja sekitar Rp. 170.000.000, dengan plat deker Palam Sambiut sebesar Rp. 118.000.000.

Lanjut Siksanto, saat pekerjaan akan dimulai pada September kemarin, pihaknya diperhadapkan dengan edaran dari kementerian. Isi edaran meminta bahwa di setiap pekerjaan, dari Pra Perencenaan sampai pelaksanaan, harus ada reviu dari pihak Inspektorat.

“Jadi, kita minta pihak inpektorat mereviu. Jadi, saat pembahasan di inspektorat ditemukan bahwa anggaran 500 juta rupiah itu tidak cocok digunakan di dana tanggap darurat. Dia cocoknya, harus dirubah nomenklatur,” terangnya.

Sehingga, terpaksa anggaran Rp. 500 juta itu direncanakan akan menunggu perubahan nomenklatur. Karena, klasifikasinya masuk dalam penanganan pasca bencana, yang secara otomatis termasuk dalam nomenklatur kegiatan.

“Jadi, kalau jembatan namanya pemeliharaan berkala jembatan, kalau dia jalan, namanya pemeliharaan berkala jalan. Untuk mengubah nomenklaturnya harus tunggu SIPD,” sebutnya.

Sehingga, ketika pihaknya meminta hasil reviu inspektorat, pas diminta persetujuan dari TAPD, yang disepakati hanya 500 jita rupiah, 200 juta tambahan, tidak disetujui TAPD, karena tidak masuk dalam perubahan nomenklatur. Sehingga ada satu kegiatan yang harus dikorbankan, yakni Talut. (Rif)