Berita

PBB Wajib, Selagi Bangunan Masih Menyentuh Tanah 

Bangunan rumah warga di atas air, Desa Kalumbatan, Kecamatan Totikum Selatan, Banggai Kepulauan. [FOTO : RIFAN/LUWUK POST]
SALAKAN, LUWUK POST-Sekretaris Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Banggai Kepulauan, Maslan menanggapi keluhan sebagian masyarakat Desa Kalumbatan Kecamatan Totikum Selatan, tentang bangunan di atas air yang dikenai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

“Selagi bagian konstruksi dari bangunan masih menyentuh tanah, maka selama itu pun wajib dikenakan PBB,” kata Maslan kepada media ini di ruang kerjanya, Kamis (27/1).

Menurut dia, kekuatan hukum pemberian sertifikat berbeda dengan pengenaan PBB. Pemberian sertifikat berdasarkan hak milik tanah dan bangunan. Sedang penarikan PBB, hanya didasarkan atas penguasaan tempat, dan bukan milik.

Landasannya, tanah dan air adalah milik negara. Olehnya itu, ketika ada pihak yang memanfaatkan atau menguasai, sekalipun belum mempunyai sertifikat, berarti pihak bersangkutan wajib membayar pajak.

Meski begitu, Maslan mengakui, pihaknya belum maksimal dalam menjalankan administrasi pemutakhiran data, terutama di tingkat desa. Komunikasi dengan aparat desa, sebagai ujung tombak dalam urusan pajak kerap tidak terlaksana dengan baik.

“Kami seringkali menyampaikan agar dilakukan pemutakhiran data ke aparat desa yang ditugaskan, tapi memang tidak pernah disampaikan ke kami. Sehingga kami tidak tahu,” ungkapnya.

Olehnya, lanjut dia, permasalahan penetapan dan penarikan PBB yang dikeluhkan masyarakat, termasuk belum dipajaknya semuanya bangunan di atas air yang dikenakan pajak, serta perbedaan objek, dan tarif pajak yang tidak sesuai, itu disebabkan data yang belum dimutakhirkan.

“Jadi, kalau ada wajib pajak yang belum terdata, itu bukan berarti yang berasangkutan bebas pajak, tapi karena dia belum terdata. Karena, tidak ada laporan pemutakhiran dari petugas di desa,” cetusnya.

Padahal, imbuh dia, petugas yang melakukan penarikan pajak di desa juga diberikan upah.

Terkait dengan legalitas bangunan di atas air, dia menyebut, negara saat ini tengah mengupayakan untuk memberikan hak pakai bagi masyarakat yang membangun di atas air. Dimungkinkan negara akan memberikan sertifikat, tapi statusnya, bukan hak milik, melainkan hak pakai.

“Nah, sekarang ini sementara diupayakan hak pakai. Untuk sertifikat, mungkin akan diberikan hak pakai, tapi dia bukan hak milik, melainkan hak pakai. Karena kasusnya bukan cuma di sini, di kalimantan, terutama Tarakan, banyak yang bermukim di atas air,” jelas Maslan.

Diketahui, sebagian masyarakat desa Kalumbatan mengeluhkan beberapa hal terkait pengenaan PBB atas bangunan rumah, yang notabenenya berdiri di atas air. Padahal hak atas penguasaan tempat dan milik belum mendapat pengakuan dari negara.

Ihwal lain yang dikeluhkan masyarakat, bahwa penarikan PBB tidak diberlakukan secara menyeluruh untuk semua bangunan di atas air yang ada di Desa Kalumbatan. Sehingga mereka merasa dirugikan.

Selain itu, penetapan tarif masing-masing bangunan justru berbeda. Sebab hanya sebagian rumah yang dikenakan dua objek pajak, yakni Bumi dan Bangunan. Sedang rumah hanya dikenakan satu objek, yaitu Bangunan atau Bumi.

“Kalau saya dua-dua saya harus bayar, Bumi dan Bangunan. Sedangkan yang lain hanya dikenakan pajak bumi atau bangunan. Padahal, sama-sama di atas air,” ucap Deni, salah seorang warga yang rumahnya dikenakan dua objek pajak.

Tak hanya itu, penetapan tarif pun terkadang membingungkan. Rumah yang ukurannya lebih besar, tarif nilai PBB-nya lebih kecil, begitu pun sebaliknya. (Rif)