Feature

Pengalaman Residensi Kepenulisan di Kota Perth—Australia Barat

PENERBANGAN dari Denpasar ke Perth-Australia Barat saya tempuh selama tiga jam 46 menit, tidak begitu terasa saya sudah sampai, perjalanan ini lebih ringkas dibandingkan perjalanan yang saya tempuh dari Jakarta ke Banggai—dua jam setengah Jakarta-Makassar, satu jam setengah dari Makassar-Luwuk dan 10 jam naik kapal dari Luwuk ke Banggai Laut.

Oleh: Erni Aladjai
Peneliti lepas dan Penulis


SAYA datang ke Perth dalam rangka residensi ke penulisan kerjasama Makassar International Writers Festival dan Centre for Stories—Australia Barat.

Di pintu keluar bandara Perth, saya meneriakkan nama Tasia—Alberta Anastasia, dia penulis asal Surabaya yang sedang studi Phd di Edith Cowan University. Sebelumnya saya meminta tolong pada Tasia untuk menjemput saya, karena saya belum pernah ke Perth sebelumnya.

Di trotoar jalan—depan Bandara, Tasia memesan taksi daring dalam udara subuh Perth yang dingin dan menggigil. Kami menuju kawasan Wembley—rumah Caroline Wood—Direktur Centre for Stories.

Centre for Stories, Menyuarakan yang Tak Terlihat

Pada jam dua belas siang, Caroline Wood mengajak saya ke Centre For Stories ini adalah organisasi yang membiayai saya selama residensi di kota Perth. Centre for Stories merupakan organisasi seni sastra dan budaya yang dinamis dan inklusif.

Organisasi ini didirikan pada 2015 oleh John Wood dan Caroline Wood. Caroline percaya ‘cerita’ yang beragam adalah cara kita terhubung satu sama lain, melintasi laut, negara dan latar belakang. Di Center for Stories mereka mengolah cerita yang menginspirasi pemikiran orang-orang, mendorong rasa empati, dan menentang intoleransi.

Fokus mereka adalah memberdayakan orang-orang yang pengalaman dan perspektifnya sering terpinggirkan dan tidak terlihat, seperti pengungsi, imigran, kulit berwarna, orientasi seksual minoritas, manula dan penyandang disabilitas.

Ketika saya datang ke sana, seorang penulis perempuan dari India sedang menulis di sebuah ruangan yang saya rasakan begitu nyaman, ruangan itu dikelingi rak-rak buku, karpet bermotif tribal, tempat duduk yang nyaman dan beberapa tanaman hijau yang dipajang di meja sudut—sebuah ruangan dengan suasana yang menunjang kreativitas.

Penulis dari India itu berkata pada saya, dia suka menyelesaikan tulisannya di Centre for Stories karena tempat itu menyediakan kenyamanan dan internet gratis. Setelah berkenalan awal dengan Centre for Stories, Caroline mengantarkan saya ke apartemen yang akan saya tinggali selama bermukim empat belas hari di Victoria avenue—di pusat kota Perth.

Sebelumnya, kami mampir di supermarket, saya berbelanja plum, pisang, kentang dan sayuran mentah, jeruk nipis dan minyak zaitun. Saya berkata kepada Caroline saya akan memasak di apartemen saya.

Pada hari kedua, Caroline mengajak saya mengunjungi Perth Literature and Ideas Festival, tema Festivalnya adalah ‘Land, Money, Sex and Power’ dikuratori oleh Iain Grandage dan Sisonke Msimang. Festival ini berlangsung di lingkungan Western Australia University, orang-orang yang bekerja di Centre for Stories turut mengelola Festival ini.

Di Festival saya dan Caroline mendatangi acara pembacaan puisi di taman terbuka ‘Tropical Groove’ di dalam lingkungan universitas, di sini sejumlah penyair yang datang dari beragam latar belakang akan membacakan puisi-puisinya, Patrick Gunasekera membacakan puisi-puisi yang mengeksplorasi seksualitas, Omar Sakr pun begitu, sementara David Stavanger mengolah isu kesehatan mental dalam puisi-puisinya, adapun Anne Marie Te Whiu mengolah ritme kehidupan suku Maori—Selandia Baru.

Hari ketiga saya mengunjugi festival dan dikenalkan ke dua orang pengajar studi asia oleh Caroline, termasuk pasangan guru besar dan penulis buku; Ibu Krishna Sen dan suaminya David T Hill—yang kita sudah kenali, mereka menulis buku tentang media massa Indonesia di era orde baru, buku-buku budaya dan sinema Indonesia.