Metro

Merayakan Kerang Memanggil Angin

Diskusi Buku Kerang Memanggil Angin, persembahan MIWF Memory Project, bekerja sama dengan patjarmerah, Indonesia Tera, dan Festival Sastra Banggai. [Foto: Istimewa]
Diskusi Buku Kerang Memanggil Angin, persembahan MIWF Memory Project, bekerja sama dengan patjarmerah, Indonesia Tera, dan Festival Sastra Banggai. [Foto: Istimewa]

LUWUK, LUWUK POST—Sejak resmi ditunda karena pandemi, MIWF (Makassar International Writers Festival) berusaha hadir di tengah keterbatasan.

Dimulai pada bulan Juni 2020, dan nantinya berakhir pada Mei 2021, MIWF Memory Project menyapa semua lewat kanal Youtube rumata’ artspace. Pandemi mengunci segala, ada acara-acara kebudayaan yang tertunda, ruang-ruang diskusi terjeda, dan kerja-kerja kemanusiaan yang diam sejenak.

Orang-orang bersiasat, mengatasi keterbatasan dengan teknologi. Kemarin dalam edisi ke sekian, MIWF Memory Project menghadirkan diskusi buku Kerang Pemanggil Angin karya Deasy Tirayoh. Acara diskusi yang berlangsung 1,5 jam dipandu oleh Ama Achmad, founder Festival Sastra Banggai.

“MIWF Memory Project bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menciptakan ruang pertemuan dan diskusi di tengah keterbatasan. Bagi saya, ini tidak hanya ruang pertemuan dan diskusi, tetapi upaya untuk saling jaga dan saling rawat dari jauh,” kata Ama Achmad, saat membuka acara diskusi.

Edisi Oktober kali ini, MIWF bekerja sama dengan festival literasi patjarmerah di Yogyakarta, penerbit Indonesia Tera, dan Festival Sastra Banggai di Luwuk. Buku kumpulan cerita Kerang Memanggil Angin karya Deasy Tirayoh, terbit bersama dua buku lainnya yang juga karya penulis Indonesia Timur. Ketiganya membawa suara-suara dari timur, kisah-kisah yang dibungkus dengan benang merah tradisi dan mengusung isu-isu penting lainnya.

Mengutip dari cuitan Irwan Bajang di Twitter, “Indonesia Tera sudah lama dikenal sebagai penerbit sastra dengan kurasi yang baik. Tahun ini Indonesia Tera datang lagi dengan pilihan judul yang menarik untuk diikuti”.  Ketiga buku yang terbit bersamaan ini, adalah karya-karya pilihan dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Papua.

Diskusi Kerang Memanggil Angin sekaligus perayaan terbitnya karya Deasy Tirayoh ini berlangsung hangat dan menyenangkan. “Kerang Memanggil Angin adalah tiga belas cerita yang dijahit dengan baik. Karya ini mengajak setiap kita melacak ingatan yang samar dan terang dari peristiwa-peristiwa keseharian. Buku ini adalah perenungan tak disengaja, Deasy mengajak pembaca melakukan itu,” kata Ama Achmad, dalam rilis media.

Sesi tanya jawab dibuka setelah kurang lebih 45 menit diskusi berlangsung. Pertanyaan-pertanyaan yang masuk, berasal dari peserta yang sudah mengikuti diskusi ini sejak awal.

Sebuah pertanyaan menarik hadir dari seorang peserta diskusi di Luwuk. “Bagaimana Deasy melihat dunia kepenulisan yang dilakukannya sejak lama dan dunia pertelevisian yang baru saja dilakoninya?” tanya, Yanti Malale, direktur FSB.

“Dua hal ini saling mendukung. Di televisi pun, saya sebagai script writer. Apa yang saya tulis jadi konten program. Saling bersinergi menulis dan bekerja di televisi,” jawab Deasy.

Cukup banyak pertanyaan yang masuk saat itu, menandakan peserta antusias menyimak sesi diskusi kali ini. Paling banyak adalah pertanyaan tentang proses kreatif Deasy Tirayoh saat menulis buku terbarunya.

Di akhir acara, Deasy, yang juga bekerja di salah satu jaringan televisi nasional, mengatakan, bahwa menulis mengantarnya pada banyak kesempatan-kesempatan, dan sebuah terapi baginya. “Menulis adalah tanggung jawab. Buat kawan muda, menulislah,” ucap Deasy di sesi terakhir.

Sebelum menutup acara, Ama Achmad, mengucapkan terima kasih kepada MIWF, patjarmerah, penerbit Indonesia Tera, dan FSB yang memungkinkan acara ini terlaksana. Acara diskusi berakhir pukul 15.30 wita, ditutup dengan harapan bahwa ke depannya diskusi-diskusi semacam ini akan merangkul lebih banyak orang dan komunitas, agar semua yang baik tetap menyala. (*/ris)