Berita

Bangkep, antara Pengentasan Kemiskinan VS Pengadaan Mes Pemda

Potret kemiskinan masyarakat Bangkep

SALAKAN, LUWUK POST – Lega rasanya bila anggaran Rp 11 Miliar dirogoh untuk menanggulangi kemiskinan. Pelbagai produk kebijakan inovatif berjudul peningkatan kesejahteraan rakyat bisa diciptakan. Hal itu penting, mengingat, sendi ekonomi bangsa belum sepenuhnya pulih dari hantaman telak pandemi Covid-19.

Di Kabupaten Banggai Kepualuan, anggaran sefantastis itu kabarnya digelontorkan untuk pembangunan Mes Pemerintah Daerah di Kota Palu. Sebuah proyeksi yang lahir tiba-tiba, ketika diskursus pengentasan kemiskinan, masih berupa embrio. Sehingga, kelahirannya cukup memantik nalar kritis publik.

Proyeksi itu jelas terkesan kontradiktif dengan agenda pengentasan kemiskinan, yang notabene digaungkan Bupati sejak awal. Sebab ia mendadak muncul saat belasan ribu jiwa penduduk Banggai Kepulauan masih terjebak dalam kerangkeng kemiskinan.

Bukan itu saja, ribuan jiwa Warga Bulagi hingga kini masih dipaksa melakonkan drama air bersih ratusan periode selama puluhan tahun, Petani dan nelayan terus dipaksa bersabar menghadapi ketidakpastian pasar terkait harga komoditas perikanan dan pertanian, ribuan jiwa penduuduk hidup dalam kekumuhan, ribuan aparat desa dipaksa memupus asa menunggu penerapan PP Nomor 11 tahun 2019.

Lalu bagaimana kabar OPD yang diminta ‘mengencangkan ikat pinggang’ atas ketidakberdayaan fiskal daerah, saat Rapat Paripurna Laporan Pansus tentang Pertanggungjawaban LKPJ tahun 2021 akhir juli 2022 lalu?  Bukankah proyeksi transfer ke daerah diperkirakan akan terjun bebas hingga mencapai Rp 600 Miliar 2023 nanti?

Lepas dari asumsi kirtis, pembangunan mes tidak sepenuhnya keliru. Sebab masih ada keuntungan yang dapat diperoleh, termasuk biaya penginapan para pejabat yang bisa dikonversi menjadi pendapatan daerah.

Tapi bukankah ironis, di balik dalih ketidakmampuan fiskal daerah untuk menopang urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, justru lahir kebijakan yang sebetulnya masih sangat bisa ditunda.

Bupati pasti sudah membaca catatan Bappeda dan Litbang Bangkep, tentang  jumlah penduduk miskin tahun 2023 yang mencapai angka 13,77 persen atau sekitar 15 ribu jiwa. Jika tidak segera ditanggulangi, grafiknya akan tumbuh signifikan, seiring pertumbuhan jumlah penduduk.

Namun sejauh ini Bupati belum buka mulut soal langkah strategis, target, dan besaran pundi-pundi dari kantong daerah yang harus dikuras untuk menanggulangi angka itu. demikian juga dengan soal pembanguan mes, Bupati sejauh ini belum angkat suara di ruang publik.

Belakangan kabar itu dikonfirmasi Sekretaris Fraksi Gerindra DPRD Bangkep, Moh Ikbal Laiti. ia merasa kesal lantaran program penataan kawasan kumuh Desa Bongganan tak cukup kuat memasuki dokumen KUA-PPAS.  Padahal, perumahan inklusif di level kebijakan strategis nasional.

Di level kabupaten pun, penataan kawasan kota menempati posisi teratas dalam prioritas daerah. Bahkan Pj. Bupati sebelumnya, tutur dia, sempat berinisiatif bakal mengadakan pertemuan dengan masyarakat Bongganan untuk membahas soal itu. Tapi scenario itu tiba-tiba lenyap dari Naskah.

Proyeksi pembangunan mes semestinya tidak segegabah itu memasuki bilik kebijakan prioritas pemerintah daerah. Karena, dari sisi pembagian urusan pemerintahan, sebagaimana tertuang dalam Permendagri Nomor 86 tahun 2017, Mes itu nyaris tidak punya pintu masuk. baik untuk urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, maupun urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.

Sementara pada PP Nomor 12 tahun 2019 Pasal 65 ayat (4) huruf B disebutkan, menentukan prioritas program dan kegiatan untuk masing-masing urusan yang disinkronkan dengan program nasional yang tercantum dalam rencana kerja pemerintah pusat setiap tahun.

Pun jika dalihnya digeser pada pada PP Nomor 12 tahun 2019, pasal 89 ayat (3), soal muatan Kebijakan Umum APBD (KUA) sebagai bagian dari kebijakan pendapatan daerah, maka rumusan ide dasarnya harus didasarkan pada laju produktifitas yang bisa melampaui nilai modal awal.

Persoalannya, mungkinkah dalam waktu dua sampai tiga tahun mess itu mampu mendatangkan pendapatan melebihi anggaran pengadaannya yang senilai Rp 11 Miliar? jika tidak, maka berarti kebijakan itu telah ikut berkontribusi memperparah kelumpuhan fiskal daerah, yang akhirnya berbuntut pada rakyat.

Satu lagi, jika serius ingin menggenjot grafik pendapatan daerah, seharusnya anggaran tersebut bisa berdayaguna untuk memaksimalkan sumber daya yang sudah pasti bisa menopang kemampuan fiska, misalnya sector pariwisata, perikanan, dan pertanian, yang pada akhirnya bisa membuka lapagan kerja bagi masyarakat. (Rif)