Feature

Pengalaman Residensi Kepenulisan di Kota Perth—Australia Barat

Di hari keempat, Caroline mengajak saya mendatangi obrolan buku Intan Paramadhita, Intan penulis Indonesia yang tinggal di Sydney, ia akan meluncurkan bukunya ‘The Wandering’ yang baru-baru ini diterjemahkan oleh Vintage Books. Intan membicarakan bahwa ‘Gentayangan’ sesungguhnya adalah metafora bagaimana kita melihat pergerakan manusia dari satu titik ke titik lain, melintasi batas-batas, khususnya keinginan perempuan untuk memiliki mobilitas yang merdeka.

Di hari ke lima, Logan Griffiths—staf di Centre for Stories mengajari saya rute jalan kaki dari apartemen saya menuju Centre for Stories—yang berakhir saya tidak bisa mengingat rute itu dan meminta mereka mengajarkannya lagi di waktu luang mereka yang lain—saya sungguh merepotkan.

Pada sore harinya, Caroline mengajak saya bertemu dengan Catherine Noske, David Bourchier dan Tony Hughes. Catherine adalah editor umum di Jurnal Westerly—sebuah jurnal sastra dan kebudayaan di Universitas Australia Barat (UWA). David adalah dosen studi literatur asia, dia bercerita studi tentang sastra Indonesia sangat kecil peminatnya di Australia Barat dibandingkan dengan Korea, Jepang dan Cina yang memiliki banyak peminat.

David berkata, bisa jadi hal ini karena dipengaruhi lantaran kurangnya karya-karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sehingga tak banyak menjangkau pembaca Australia Barat.

Hari selanjutnya saya pergi ke Fremantle Market bersama Tasia, saya mencari buku-buku langka dan ingin melihat-lihat pasar tradisional Fremantle Market, beragam pedagang berjualan di sini mulai dari pedagang teh, pedagang ramuan tumbuh-tumbuhan Australia barat, pedagang piring pinang—sebagai pengganti styrofoam hingga pedagang daging kangguru.

Kami makan siang di dalam pasar, saya memesan sushi sayuran dan Tasia memesan sushi tempura, dan Kak Butet memesan gado-gado di kedai makan Indonesia. Sebelumnya, saya singgah di toko oleh-oleh, pemiliknya orang Indonesia, si nyonya pemilik toko baik hati dan ramah tamah, dia memberikan saya beberapa barang secara gratis—tetapi ternyata membeli oleh-oleh di Fremantle Market sangat mahal, saya menemukan satu toko oleh-oleh hanya berjarak 500 meter dari apartemen saya, perbedaan harganya bisa dua kali lipat.

Salah satu ruang diskusi di Centre for Stories. [Foto:Dokumentasi Erni Aladjai]
Salah satu ruang diskusi di Centre for Stories. [Foto:Dokumentasi Erni Aladjai]

Di hari Minggu, saya bersama Iven Manning—yang mengenal Indonesia dengan baik dan cakap berbahasa Indonesia dan Jawa, kami pergi menonton ‘Canning Highway to Hell’ di Fremantle Utara. Di Jalan Highway to Hell, musisi-musisi band akan berkendara sambil menyanyikan lagu-lagu AC/DC, akses jalan sepanjang sepuluh kilometer dipenuhi warga lokal Australia Barat dari Jembatan Canning hingga Rainbow—Fremantle. Acara yang merupakan bagian dari Perth Festival ini adalah pesta rakyat orang Australia Barat.

Mereka merayakan group musik legenda mereka AC/DC; going down, party time, my friends are gonna be there too, I’m on the highway to hell—begitu cuplikan lagu legendaris mereka. AC/DC adalah grup musik hard rock yang dibentuk di Sydney pada November 1973 oleh gitaris irama Malcolm Young dan saudaranya yang juga gitaris utama Angus Young. Grup musik legenda ini memiliki dua penyanyi, dan penggemarnya terbagi dua kelompok, antara penggemar di era Bon Scott sekitar 1974-1980 dan di era Brian Johnson dari 80-an hingga sekarang.

Di sepanjang jalan Highway to Hell, orang-orang berjoget, bahagia, berteriak kegirangan, menengak bir dengan suka cita, di sini—di keramaian yang dipenuhi ribuan orang, kecemasan dan ketakutan akan virus corona dilupakan sejenak. Semua orang berbaur—dari semua lapisan masyarakat, menyanyi dan berjoget, pasangan kekasih berciuman dan berdansa dan anak-anak turut bertepuk tangan sambil menyanyi.

Begitulah Perth, saya hanya merasakan perasaan ganjil di hari pertama, di hari-hari selanjutnya saya merasakan banyak kegembiraan dan keramahan orang-orang terutama orang-orang di Centre for Stories, hingga tak terasa masa tinggal saya di kota ini berakhir, 14 hari berlalu tanpa terasa. (*)